Thursday, June 26, 2008

Menara Gading” Profesi Kedokteran: Antara Harapan dan Realita

"Sebuah Kontemplasi dan Autokritik"
(Media PADANG-KINI, 29 Juni 2008)

Harapan dan Cita-Cita Kita Sebenarnya
Secara umum citra profesi ini masih berada dalam kelompok profesi yang mempunyai citra yang tidak jatuh begitu dalam dimata masyarakat. Namun profesi ini juga telah menjadi sorotan miring dan negative.

Fakultas Kedokteran sebagai suatu institusi, sesungguhnya mempunyai tujuan dan jati diri yang luhur. Fakultas Kedokteran lahir sebagai tuntutan kondisi masyarakat yang yang masih bertumpuknya masalah kesehatan. Ia hadir untuk ikut langsung menuntaskan masalah-masalah penyakit infeksi yang tak kunjung selesai serta penyakit kronik degeneratif yang mulai menggunung. Sehingga secara tertulis dan teoritis, Fakultas Kedokteran bertujuan untuk melahirkan dokter yang mempunayi ilmu dan skill medis dan klinis yang baik, bermoral dan ber-etika serta berwawasan luas. Idealis memang, namun begitukah cita-cita luhur hadirnya, dan harapan setiap lulusannya. Dengan istilah yang lebih popular dalam pendidikan kedokteran, Fakultas kedokteran bertujuan melahirkan dokter yang “Professionally Qualified, Socially and culturally acceptable.”

Saat ini, juga masih banyak orang tua yang mengidam-idamkan agar anaknya kelak menjadi dokter. Tidak jauh berbeda, bila ditanyakan pada anak-anak yang yang masih di sekolah dasar apakah cita-cita mereka, maka diantara jawaban mereka selain menjadi pilot, ahli computer dan president; menjadi dokter juga salah satu cita-cita mereka. Ini menjadi bukti bahwa, dari sedikit noda yang dimiliki profesi ini, ia tetap menjadi salah satu impian.

Banyak motif dan harapan mengapa seorang orang tua ingin anaknya menjadi dokter. Dan banyak juga alasan mengapa seorang tamatan SLTA mendaftar untuk masuk Fakultas Kedokteran, mulai dari karena alasan klasik untuk memperbaiki masa depan, hanya ikut-ikutan trend dan teman hingga mengikuiti paksaan orang tua. Namun diantara seribu alasan itu, masih ada tersisa dan tersisip tujuan mulia; ingin membantu sesama dan menolong orang yang tak mampu. Artinya, masih ada niat tulus dan murni bagi orang-orang yang ingin menjadi dokter. Jika hal ini digabungkan dengan dengan tujuan pendidikan di Fakultas Kedokteran, dimana mereka akan berproses nantinya, maka idealnya akan melahirkan dokter yang berkebribadian luhur.

Realita
Namun akhir-akhir ini kritikan tajam dan pedas datang mengantam profesi yang mulia ini. Profesi kedokteran yang dulunya dipuja, disanjung dan dinantikan kehadirannnya kini mulai luntur. Bahkan, sudah mulai ada hujatan terhadap profesi ini yang seharusnya berwibawa. Lalu tentunya kita bertanya, mengapa bisa begini?

Tentu banyak yang menjadi penyebab mengapa telah terjadi perubahan atas citra profesi ini. Zaman yang telah berubah, tuntutan masyarakat yang tinggi, sistim pelayanan kesehatan juga merupakan factor yang sangat menentukan.

Namun peran kita (dokter) tidaklah kalah pentingnya. Ibarat pepatah minang mengatakan “Kalau indak ado barado, indak tampua basarang randah,” yang artinya kira-kira sama dengan “Kalau tidak ada api tidak akan ada asap.” Artinya, sumber atau pelaku utama sangat berpengaruh akan efek yang muncul. Dalam hal ini prilaku dokter sangat menentukan bagaimana citra profesi ini.

Memang benar, diantara kita (para dokter) masih banyak yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai luhur profesi, dengan norma agama dan nilai-nilai kemanusian yang dianut. Akan tetapi, kesalahan yang dibuat oleh segelintir sejawat sudah mencemarkan profesi ini. Hukum sosial akan bermain, dimana perbuatan salah oleh dokter adalah suatu yang bertolak belakang dengan nilai-nilai yang seharurnya dimiliki. Ini adalah suatu ‘Kenehan,’ dan keanehan akan menjadi sorotan. Sorotan yang berulang-ulang akan menjadi asumsi umum. Akhirnya, dengan asumsi yang sudah mulai negatif,maka janganlah heran, sedikit saja kekhilafan yang dubuat oleh dokter tidak bisa dimaafkan oleh masyarakat. Maka ini jugalah salah satu faktor yang menyebabkan munculnya berbagai dugaan malpraktek.

Harus diakui, pada kenyataannya dimata masyarakat profesi kedokteran telah menjadi berubah menjadi seperti sebuah ‘Menara gading.’ Megah-mewah tapi tidak melindungi. Seperti sebuah menara yang hanya dapat diraih oleh orang-orang tertentu. Makin mewah menaranya, makin susah untuk meraihnya, dan makin megah menaranya makin tinggi pula biaya untuk mendapatkannya.

Kalau dilihat lebih jauh, berprilaku sesuai nilai-nilai luhur tidak hanya berdasarkan tuntutan agama dan sosial. Berprilaku professional, mempuyai budi luhur dan menhargai pasien ditegaskan juga pada lafal Sumah Dokter yang diucapkan ketika seorang ‘dilantik’ (judisium) menjadi dokter. Sekedar mnyegarkan ingatan kita, Dari 10 poin sumpah tersebut, ada 3 poin yang secara eksplisit dan tegas berkaitan langsung dengan sikap terhadap pasien. Pada poin pertama diucapkan “Saya membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.” Pada poin 4 “Kesehatan penderita akan saya utamakan, dan pada poin 9 “Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan. Berdasarkan nilai-nilai luhur agama, moral, dan etik, serta sumpah kedokteran tersebut, dokter dituntun untuk bersikap dan bertindak.

Tambahan lagi, pada tahun 2004, telah diundangkan secara spesifik Undang-Undang (UU) tentang Praktek Kedokteran (UU No 29 tahun 2004). Terlepas adanya pro dan kontra akan kelengkapan dan muatan UU tersebut, namun didalamnya sebenarnya hanya menegaskan akan arti pentingnya ‘Prilaku Profesional”; yakni mengerti dan mentaati aturan administratif, dan menghormati hak dan tanggung jawab pasien.

Akhir kata, penulis menyampaikan bahwa tulisan ini hadir sebagai autokritik pribadi buat profesi dokter (kita): buat saya dan anda para sejawat dokter semuanya. Tidak ada maksud lain, kecuali ingin merubah diri dan mengajak sejawat semua untuk kembali dan senantiasa manjunjung tinggi nilai-nilai luhur profesi. Yang akhirnya mengembalikan citra dan kewibawaan profesi ini. Semoga…!

Wassalam & Banyak Maaf,
Hardi

Note: Nanti tulisannya disambung: digali sedikit penyebabnya (dengan Judul: Merubah Citra dan Paradigma Profesi dan Pelayanan Kesehatan), juga Bagaimana kabar & keadaan profesi dokter di negara-negara tetangga sbg perbandingan bagi kita.

Saturday, June 21, 2008


Unek-Unek dan nasehat untuk diri Sendiri:
(Diterbitkan oleh Harian Padang Kini, & dapat juga di klik di: http://www.padangkini.com/opini/?s=kolomd&id=25 ).

Mengembangkan Potensi Untuk Membangun Negeri: Sebuah Autokritik
---------------------------------------------------------------

ADA angin segar yang sangat bagus bagi dosen, baik yang bertugas di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ataupun swasta (PTS) dengan adanya program terbaru dari Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) untuk memberikan beasiswa pendidikan pascasarjana master (S2) dan doktoral (S3) di luar negeri.

Kesempatan ini sungguh sangat berarti dalam meningkatkan kualifikasi para pendidik di perguruan tinggi kita. Betapa tidak, boleh diakuai selama ini para dosen yang berniat dan berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan tinggi di luar negeri lebih tergantung dari sponsor dan pemberi beasiswa asing. Sebut saja misalnya AusAID, ADB-JSP, World-Bank, Aminef-Fullbright, Ford Fondation, Chevening, GSA-NUS, StuNed, DAAD, Monbukagakusho, dan beberapa beasiswa langsung dari perguruan tinggi.

Terlepas dari adanya kerja sama dan hubungan politik antara pemerintah Indonesia dengan negara dan lembaga pemberi beasiswa tersebut, namun jelas terlihat peningkatan kualifikasi pendidik perguruan tinggi kita selama ini lebih banyak tergantung dari ‘pemberian' orang lain. Namun dengan adanya program beasiswa tersebut, tentunya kita berharap ke depan perguruan tinggi kita lebih baik lagi.

Tulisan ini bukanlah mengkritisi bagaimana pelaksanaan program baru dari Dikti tersebut, karena tentunya kita semua berharap semoga pelaksanaannya harus seindah dan sebagus idenya.

Tulisan ini lebih merupakan autokritik terhadap para alumni pendidikan luar negeri dan juga resonansi untuk para kolega yang kembali melanjutkan pendidikan ke luar negeri, dengan pertanyaan: "Sudahkah potensi, ilmu dan skill yang didapatkan dari pendidikan di luar negeri tersebut teraplikasi dengan baik untuk pengembangan institusi di mana kita bekerja dan lebih luas lagi memberikan andil dalam pengembangan ilmu pengetahuan di tanah air ini?" Sebagai autokritik ada beberapa poin di bawah ini.

Pertama: Appresiasi Tanpa Rendah Diri

Ketika kita berada di negara maju dan menuntut ilmu di sebuah universitas ternama, tentunya akan merasakan suasana lain. Sebagai pelajar yang datang dari Indonesia yang masih tergolong negara berkembang, kita merasakan dan dapat menikmati fasilitas publik yang tentunya juga lebih baik. Tidak hanya fasilitas, secara nyata dan harus diakui, kita juga merasakan pemberi pelayanan pun mempunyai nilai sosial lebih baik pula.

Melalui perbincangan pribadi penulis dengan teman-teman yang sama menuntut ilmu di luar negeri, seperti UK, Australia, dan Belanda, semuanya mengakui menemukan suasana kota dan transportasi yang teratur, kedisiplinan yang dilakukan oleh semua petugas di segala lini dan ‘respect' atau penghargaan terhadap orang lain dalam memberikan pelayanan yang sangat dirasakan, seperti rumah sakit, kepolisian dan kantor-kantor pemerintah.

Tidak hanya pada perbincangan-perbincangan pribadi, diskusi-diskusi melalui milis pun tidak luput dari ungkapan-ungkapan pujian terhadap bagaimana wah-nya sebuah negara tempat singgah yang hanya sesaat itu.

Tentunya tidak salah dan malah baik jika kita memuji atau mengacungkan jempol untuk kemajuan dan yang dimiliki oleh negara-negara maju tersebut. Namun alangkah lebih baik lagi jika semua pengalaman yang positif itu bisa menjadikan kita lebih baik dan berkonstrubusi positif untuk negeri kita.

Tapi sayang, sebagian apresiasi positif terhadap kemajuan yang dimiliki oleh negara lain tersebut sering diikuiti dengan ‘rendah diri' terhadap negeri sendiri. Pada diskusi-diskusi di milis, tidak jarang komentar-komentar yang diberikan dalam menyanjung negeri orang lain secara eksplisit merendahkan negeri sendiri tanpa mengenal faktanya.

Misalnya, ketika kita melihat bagaimana pelaksanaan peraturan lalu lintas yang baik, lalu dengan gegabah mengatakan, "Lihat negara kita nggak ada peraturan seperti ini."

Tentu ini hanya akan menunjukkan ketidaktahuan kita tentang hukum dan undang-undang di negara kita sendiri. Atau contoh lain misalnya, ketika seseorang mendapat pelayan di rumah sakit dan menyaksikan peralatan pemeriksaan Radiologi yang bagus, lalu mengatakan, "Saya mendapat pemeriksaan medis langkap, kalau di Indonesia nggak ada nih yang seperti ini."

Ini tentunya juga menunjukkan bahwa ia tidak mengenal perkembangan negerinya sendiri, karena pemerikasaan Radiologi canggih apapun di Indonesia sudah merupakan fasilitas yang biasa.

Adalah benar, mereka (negara-negara maju) terebut lebih baik dari kita. Adalah benar, semua profesi di negeri ini: dokter, polisi, pengacara, dosen, guru politikus, harus berubah menjadi lebih baik atau seperti yang kita saksikan di negara-negara maju tersebut. Adalah baik juga, kita mengkritisi terhadap apa yang ada di negara kita, tetapi tidaklah ada artinya bila kita merendahkan negeri sendiri tanpa ikut andil dalam memberikan solusi untuk proses perbaikankan negeri ini.

Kedua: Mengubah Frustasi menjadi Prestasi

Setelah kembali ke tanah air, kita sebagai alumni luar negeri terutama yang di perguruan tinggi tentunya diharapkan dapat mengembangkan ilmunya sehingga berperan dalam mengembangkan institusi. Tapi sayang, ada di antara kita setelah kembali ke tanah air malah ‘frustasi' dengan keadaan yang ditemui.

Teman-teman lulusan luar negeri banyak yang berpendapat bahwa ‘cultural shock' yang dialaminya setelah kembali ke Indonesia jauh lebih berat dari saat yang dialami minggu-minggu pertama belajar di luar negeri. Betapa tidak, sebagian merasakan bahwa ketika meraka telah punya ilmu dan skill, tapi terhambat pengembangannya hanya tidak punya ‘suara' dan terhalang masalah senioritas.

Bahkan masalahnya lebih berat lagi yang dialami teman-teman yang mendalami ilmu-ilmu dasar, seperti bioteknologi, genetika, dan lainnya. Ketika mereka yang punya ilmu dan skill untuk melakukan penelitian dan pengambangan ilmu, namun tidak didukung oleh adanya sarana laboratorium dan pendanaan yang memadai. Seperti ungkapan seorang teman, jadilah ilmunya seperti ‘ilmu kebatinan' hanya untuk dimiliki tapi tidak untuk disebarluarkan.

Tentu tidaklah mudah bagaimana ‘mengubah frustasi ini menjadi sebuah prestasi' kerana terkait dengan berbagai fakor, baik sistem di universitas sendiri, pendanaan pendidikan, dan juga kita alumni luar negeri sebagai ‘orang baru' yang punya potensi. Ketiga-tiganya harus terus diperbaiki.

Sesuai dengan tujuan tulisan ini, sabagai autokritik lulusan luar negri, hanya melihat bagaimana sikap yang bisa dikembangkan. Sebagai seorang lulusan baru harus menunjukkan prestasi tanpa arogansi. Penyesuaian sosial dengan lingkungan kerja tanpa ikut arus yang salah, senantiasa berkarya dan berkreasi dengan bidang ilmu dan keahlian sesuai fasilitas yang dimiliki adalah mutlak dilakukan.

Akhirnya, diharapkan semua ilmu dan keahlian yang kita miliki tidak hanya terpatri di dalam pikiran kita seperti sebuah 'ilmu kebatinan' tapi harus senantiasa bisa dikembangkan untuk kemajuan institusi di mana kita berada yang pada akhirnya ikut andil dalam kemajuan negeri kita tercinta ini.
----------

Saturday, June 14, 2008

Gaya Pendidikan Kedokteran

Dari Saudara K di Padang.
Bagiamanakah sistim pendikan Kedokteran di dunia dan perbandingan-nya dengan Indonesia?

-->
Pendikan kedokteran di Indonesia adalah pendikan akademik profesional (sarjana:S1 dan profesi). Untuk masuk fakultas kedokteran, calon mahasiswa hanya disaratkan selesai pendidikan menengah (SMA dan sederajat), dengan latar belakang yang kuat di bidang IPA (Biologi, Fisika dan Kimia), yang hanya dibuktikan dengan lulus ujian masuk (UMPTN/SPMB). Ini sangat berbeda dengan pendidikan kedokteran di US dan Canada.

Sekedar gambaran, sistim US dan Canada: pendidikan kedokteran adalah
pendidkan lanjut setelah seseorang memperoleh gelar sarjana. Meskipun
pada kenyataan-nya, banyak yg telah memeproleh gelar master dan gelar
akademik yag lain baru masuk kedokteran. Pendidikan sangat intens,
lama pendidikan 4 tahun; 2 tahun preklinik, 2 tahun clerkship (plus
satu tahun intership). Dia Australia, sebagian universitas sejak tahun
1995 mulai ada yang menerapkan sistim ini, jadi pendidikan kedokteran
merupakan Graduate Entry. Sydney University & Flinders Univ (tempat
saya sekarang) menerapkan sistim ini secara murni.
Sedangkan Monash Uni dan Melbourne, menerapkan double entry, jadi ada
yang graduate (yang tua-tua..), ada yang tamatatan sekolah menengah
(spt di Indo).
Sedangkan universitas yang lain, spt Adelaide, James Cook & UNSW tetap
menerapkan penerimaan hanya untuk tamatan sekolah menengah.
Untuk sistim ini, spt halnya di Indo, masa pendidikan kedokteran 5
tahun. (Plus 1 tahun nantinya intersnship, tapi bukan wewenang
universitas lagi)

Proses pendidikan juga bermacam-macam, ada yang discipline based
sistem ada yang thematic based system denga PBL. Dan singkatan gelar
akademik untuk dokter juga bermacam-macam, ada yang MBBCh, MBBS, BMBS
ada yg BMed, yang semuanya setara dengan dokter atau MD untuk US/
Indonesia.

Untuk graduate entry, "jika memenuhi syarat", seperti halnya di US dan
Canada mahasiswa langsusng bisa mendaftar untuk double degree MBBS dan
PhD. Tapi lama pendidikan jadi 6 tahun karena ban yak dialokasikan
untuk mengerjakan Thesis PhD nya. Jadi jangan heran kalo ada dokter
lulusan UK, Australia atau US yang masih muda kok jg udah selesai PhD.

Praktek klinik mhs kedokteran Australa cukup bagus, boleh dikatakan
lebih banyak kesempatan.
Untuk tahap preklinis, skill lab mereka sudah advance sekali, mulai
dari alat-sederhana sampai 'high fidelity' spt; model untuk latihan
pemasangan IV line (infus), Jugular vein, catheter, pemerikasaan
nafas, jantung, alat simulasi yang dapat bersuara sesuai dengan
program yg diberikan, alat simulasi trauma, simulasi emergency dan
ICU, dll.
Untuk tahapan kepaniteraan, seperti di Indo mereka jg rotasi di RS
pendidikan selama setahun hanya untuk bagian besar (medicine,
obstetry, surgery, pediatry, general practice & psychiatry). Sedangkan
tahun terakhir lebih banyak merupakan kepaniteraan mandiri yang
disupervisi di RS kecil atau bisa ke negara lain.

Sistim manakh bagi kita yg lebih baik?
Kalo dibandingkan dengan negara2 lain, sistim yang kita terapkan lebih
mirip dengan sistim di Belanda, Jerman, Jepang, negara2 Sakndinavian &
Eropa Timur.
Saat ini, menurut saya sistyim kita sudak baik, 'tapi pelaksanaannya'
yang belum. Kita masih kekurangan fasilitas dan 'kurang kekompakan;
dalam menjalankan sistim itu.

Salam,
Hardi
----------

Wednesday, June 4, 2008

FPI vs AKBB: Mari menatap, mari meratap, mari berskap

Salam,

Kali ini saya posting yg bukan masalah kesehatan & kedokteran...
Karena prihatin juga dengan isu bangsa...
(Dipublikaan juga di Harian Umum Padang Ekspress, 9 Juni 2008: http://www.padangekspres.co.id/content/view/8597/80/)

Dalam beberapa hari ini sejak 2 Juni 2008 yang lalu sedang gemparnya media massa akibat bentrok nya FPI/KLI dengan AKBB..

Komentar saya: Be Fair, Be Objective...

Pertama: Mari mentap...
(BACA: JUJUR dengan kenyataan).

Dulu saya berfikir; mengapa ya Fatah dan Hamas di Palestina nggak bisa akur. Kemudian, saya coba sekikit telusuri dan baca-baca, ternyata memang sulit untuk disatukan karena terlalau banyak perbedaan prinsip yang meraka punyai, tidak hanya cara mereka berjuang, mungkin bisa dikatakan Ideologinya pun hampir-hampir berbeda.

Jangankan itu, beberapa hari terakhir melihat pemberitaan kemarin ‘Perseteruan antara FPI dan AKKBB’ yang tidak hanya adu otak, tapi sudah adu otot. Bahkan juga melibatkan orang-orang terdidik di ormas-ormas Islam. Tanpa menyebutkan tokoh ormas yang terlibat, saya jadi berfikir lagi, ini baru organisasi yang boleh dikatakan, tidak banyak perbedaan, hanya masalah "Cara," tapi sungguh sulit disatukan, apalagi sebuah organisasi besar yang melibatkan lintas negara.

Sebenarnya, kalau kita amati perkembangannya, dari tahun ke tahun yang ada di media, pemojokan dari FPI kemaren hanyalah 'Sebuah moment" yang tepat yang dugunakan oleh kelompok-kelompok yangg berseberangan. Intinya kalau kita mau jujur "Tidak ada pun peristiwa itu, anggapan kelompok yang berseberangan teerhadap FPI adalah tetap salah, keras dan bringas.

Tambahan, harus jujur lagi bahwa, aksi yang diadakan AKKBB adalah aksi terbuka melalui media massa, yang mengundang ormas lain, intinya FPI juga bisa datang sebagai tamu dalam acara itu. Kita tentu tidak tau, apakah ini siasat atau di media ada yang lupa ditulis ‘Semua ormas diundang kecuali FPI dan yang se-ide dangan-nya.’ Buktinya, ada anggota AKKBB yang sudah bersiap siaga dengan senjata. Dengan kedatangan FPI pada hari dan tempat yang sama AKKBB 'lupa' akan undangan-nya, dan menganggap ada aksi tandingan. Jadi FPI bukan tamu yang layak dihormati. Karena sudah ada min-set nggak mungkin FPI mau bergabung dengan aksi yang mereka lakukan.

Sebaliknya, kita harus jujur juga, apakah FPI (dan KLI) datang untuk memenuhi undangan atau memang "Sudah siaga' untuk mempersiapkan tandingan. Karena dari awal FPI memang sudah dengan keras menolak Ahmadiyah dan aksi-aksi dari organisasi yang mendukungnya. Intinya, sudah ada mind-set di kelompok masing-masing.

Mari Meratap dan Bersikap: Renungkan sikap Kita dan Cari Solusi

Renungkan dan adakah solusi dari kita, atau jangan-jangan kita (saya dan anda) juga sudah punya mind-set sendiri dan tidak terpengaruh argumentasi dan kenyataan? Atau jangan-jangan berbagai diskusi yang kita lakukan 'Hanyalah tempat melontarkan pendapat" dan "bukan merupakan wadah untuk mendengarkan dan melihat ide orang lain. "Idealnya diskusi adalah 'tukar pendapat, saling memberi dan saling menerima."

Memang boleh jadi, bila kita 'menghujat FPI' juga karena 'dari dasarnya' kita sudah berfikir begitu, tanpa mau melihat secara utuh. Berita-berita yang muncul kemudian, cuma hanya menjadi konfirmasi untuk ansumsi kita, tanpa harus menelaah labih jauh. Kalau ada yang salah dengan mereka, kita akan langsung berkata "Nah gue bilang juga apa.”

Namun, kalau saya amati Polemik dan perbedaan argumentasi tentang masalah ini, baik yang 'Kelihatan-nya membela FPI' atau 'Kelihatan menghujat FPI dan membela AKKBB & Ahmadiyah,' sebanranya ada satu inti yang bias disepakati: Adili yang salah, hentikan kekerasan, hormati kebebasan TAPI Jangan Nodai akidah Islam.' Menurut hemat saya, kita bisa bertemu di titik itu.

Akhir kata, adalah keterlalauan (melampaui batas), bila untuk mencapai tujuan mulia dengan cara kekerasan, dan tidak menunjukkan keteladanan. Adalah juga keterlalauan, bila atas nama kebebasan menistakan, merendahkan dan melukai orang lain. Adalah keterlaluan menganggap MUI mencampuri 'ranah wilayah konstitusi' ketika mengeluarkan fatwa sesatnya Ahmadiyah, padahal ia hanya mengeluarkan fatwa (nasehat dan pemberitahuan pada umat Islam) untuk tidak terjerumus ke dalam kesesatan. Memang benar, siapa saja di tanah Indonesia dengan asas, boleh mengikuiti boleh tidak, dan tidak ada konsekuensi hukum. Tapi, sekali lagi adalah keterlaluan, kalau MUI pun dihujat. (***)

Salam,
Hardi
-----------------------------

Mari Dapatkan Keuntungan Disini

Copy Right: Hardisman 2007