Saturday, June 21, 2008
Unek-Unek dan nasehat untuk diri Sendiri:
(Diterbitkan oleh Harian Padang Kini, & dapat juga di klik di: http://www.padangkini.com/opini/?s=kolomd&id=25 ).
Mengembangkan Potensi Untuk Membangun Negeri: Sebuah Autokritik
---------------------------------------------------------------
ADA angin segar yang sangat bagus bagi dosen, baik yang bertugas di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ataupun swasta (PTS) dengan adanya program terbaru dari Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) untuk memberikan beasiswa pendidikan pascasarjana master (S2) dan doktoral (S3) di luar negeri.
Kesempatan ini sungguh sangat berarti dalam meningkatkan kualifikasi para pendidik di perguruan tinggi kita. Betapa tidak, boleh diakuai selama ini para dosen yang berniat dan berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan tinggi di luar negeri lebih tergantung dari sponsor dan pemberi beasiswa asing. Sebut saja misalnya AusAID, ADB-JSP, World-Bank, Aminef-Fullbright, Ford Fondation, Chevening, GSA-NUS, StuNed, DAAD, Monbukagakusho, dan beberapa beasiswa langsung dari perguruan tinggi.
Terlepas dari adanya kerja sama dan hubungan politik antara pemerintah Indonesia dengan negara dan lembaga pemberi beasiswa tersebut, namun jelas terlihat peningkatan kualifikasi pendidik perguruan tinggi kita selama ini lebih banyak tergantung dari ‘pemberian' orang lain. Namun dengan adanya program beasiswa tersebut, tentunya kita berharap ke depan perguruan tinggi kita lebih baik lagi.
Tulisan ini bukanlah mengkritisi bagaimana pelaksanaan program baru dari Dikti tersebut, karena tentunya kita semua berharap semoga pelaksanaannya harus seindah dan sebagus idenya.
Tulisan ini lebih merupakan autokritik terhadap para alumni pendidikan luar negeri dan juga resonansi untuk para kolega yang kembali melanjutkan pendidikan ke luar negeri, dengan pertanyaan: "Sudahkah potensi, ilmu dan skill yang didapatkan dari pendidikan di luar negeri tersebut teraplikasi dengan baik untuk pengembangan institusi di mana kita bekerja dan lebih luas lagi memberikan andil dalam pengembangan ilmu pengetahuan di tanah air ini?" Sebagai autokritik ada beberapa poin di bawah ini.
Pertama: Appresiasi Tanpa Rendah Diri
Ketika kita berada di negara maju dan menuntut ilmu di sebuah universitas ternama, tentunya akan merasakan suasana lain. Sebagai pelajar yang datang dari Indonesia yang masih tergolong negara berkembang, kita merasakan dan dapat menikmati fasilitas publik yang tentunya juga lebih baik. Tidak hanya fasilitas, secara nyata dan harus diakui, kita juga merasakan pemberi pelayanan pun mempunyai nilai sosial lebih baik pula.
Melalui perbincangan pribadi penulis dengan teman-teman yang sama menuntut ilmu di luar negeri, seperti UK, Australia, dan Belanda, semuanya mengakui menemukan suasana kota dan transportasi yang teratur, kedisiplinan yang dilakukan oleh semua petugas di segala lini dan ‘respect' atau penghargaan terhadap orang lain dalam memberikan pelayanan yang sangat dirasakan, seperti rumah sakit, kepolisian dan kantor-kantor pemerintah.
Tidak hanya pada perbincangan-perbincangan pribadi, diskusi-diskusi melalui milis pun tidak luput dari ungkapan-ungkapan pujian terhadap bagaimana wah-nya sebuah negara tempat singgah yang hanya sesaat itu.
Tentunya tidak salah dan malah baik jika kita memuji atau mengacungkan jempol untuk kemajuan dan yang dimiliki oleh negara-negara maju tersebut. Namun alangkah lebih baik lagi jika semua pengalaman yang positif itu bisa menjadikan kita lebih baik dan berkonstrubusi positif untuk negeri kita.
Tapi sayang, sebagian apresiasi positif terhadap kemajuan yang dimiliki oleh negara lain tersebut sering diikuiti dengan ‘rendah diri' terhadap negeri sendiri. Pada diskusi-diskusi di milis, tidak jarang komentar-komentar yang diberikan dalam menyanjung negeri orang lain secara eksplisit merendahkan negeri sendiri tanpa mengenal faktanya.
Misalnya, ketika kita melihat bagaimana pelaksanaan peraturan lalu lintas yang baik, lalu dengan gegabah mengatakan, "Lihat negara kita nggak ada peraturan seperti ini."
Tentu ini hanya akan menunjukkan ketidaktahuan kita tentang hukum dan undang-undang di negara kita sendiri. Atau contoh lain misalnya, ketika seseorang mendapat pelayan di rumah sakit dan menyaksikan peralatan pemeriksaan Radiologi yang bagus, lalu mengatakan, "Saya mendapat pemeriksaan medis langkap, kalau di Indonesia nggak ada nih yang seperti ini."
Ini tentunya juga menunjukkan bahwa ia tidak mengenal perkembangan negerinya sendiri, karena pemerikasaan Radiologi canggih apapun di Indonesia sudah merupakan fasilitas yang biasa.
Adalah benar, mereka (negara-negara maju) terebut lebih baik dari kita. Adalah benar, semua profesi di negeri ini: dokter, polisi, pengacara, dosen, guru politikus, harus berubah menjadi lebih baik atau seperti yang kita saksikan di negara-negara maju tersebut. Adalah baik juga, kita mengkritisi terhadap apa yang ada di negara kita, tetapi tidaklah ada artinya bila kita merendahkan negeri sendiri tanpa ikut andil dalam memberikan solusi untuk proses perbaikankan negeri ini.
Kedua: Mengubah Frustasi menjadi Prestasi
Setelah kembali ke tanah air, kita sebagai alumni luar negeri terutama yang di perguruan tinggi tentunya diharapkan dapat mengembangkan ilmunya sehingga berperan dalam mengembangkan institusi. Tapi sayang, ada di antara kita setelah kembali ke tanah air malah ‘frustasi' dengan keadaan yang ditemui.
Teman-teman lulusan luar negeri banyak yang berpendapat bahwa ‘cultural shock' yang dialaminya setelah kembali ke Indonesia jauh lebih berat dari saat yang dialami minggu-minggu pertama belajar di luar negeri. Betapa tidak, sebagian merasakan bahwa ketika meraka telah punya ilmu dan skill, tapi terhambat pengembangannya hanya tidak punya ‘suara' dan terhalang masalah senioritas.
Bahkan masalahnya lebih berat lagi yang dialami teman-teman yang mendalami ilmu-ilmu dasar, seperti bioteknologi, genetika, dan lainnya. Ketika mereka yang punya ilmu dan skill untuk melakukan penelitian dan pengambangan ilmu, namun tidak didukung oleh adanya sarana laboratorium dan pendanaan yang memadai. Seperti ungkapan seorang teman, jadilah ilmunya seperti ‘ilmu kebatinan' hanya untuk dimiliki tapi tidak untuk disebarluarkan.
Tentu tidaklah mudah bagaimana ‘mengubah frustasi ini menjadi sebuah prestasi' kerana terkait dengan berbagai fakor, baik sistem di universitas sendiri, pendanaan pendidikan, dan juga kita alumni luar negeri sebagai ‘orang baru' yang punya potensi. Ketiga-tiganya harus terus diperbaiki.
Sesuai dengan tujuan tulisan ini, sabagai autokritik lulusan luar negri, hanya melihat bagaimana sikap yang bisa dikembangkan. Sebagai seorang lulusan baru harus menunjukkan prestasi tanpa arogansi. Penyesuaian sosial dengan lingkungan kerja tanpa ikut arus yang salah, senantiasa berkarya dan berkreasi dengan bidang ilmu dan keahlian sesuai fasilitas yang dimiliki adalah mutlak dilakukan.
Akhirnya, diharapkan semua ilmu dan keahlian yang kita miliki tidak hanya terpatri di dalam pikiran kita seperti sebuah 'ilmu kebatinan' tapi harus senantiasa bisa dikembangkan untuk kemajuan institusi di mana kita berada yang pada akhirnya ikut andil dalam kemajuan negeri kita tercinta ini.
----------
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mari Dapatkan Keuntungan Disini
Copy Right: Hardisman 2007
No comments:
Post a Comment