Thursday, September 25, 2008

Obat Generik dan Puskesmas: Terlalu Dipandang Rendah


Dipublikasikan Media "Padang kini" Rabu, 24/9/2008

Oleh: Hardisman *)


"Buat apa beli mereknya, yang penting khasiatnya" kata sebuah iklan dalam mempromosikan obat generik. Namun persepsi masyarakat terhadap obat generik tidak jauh berubah. Berdasarkan pengalaman penulis selama menerima konsultasi dari pasien, pada umumnya mereka tetap menganggap bahwa obat generik adalah obat kelas bawah dan bermutu rendah. Sebaliknya mereka berpendapat bahwa obat paten adalah obat yang sangat bagus mutunya bila dibandingkan dengan obat generik itu.

Pandangan masyakat yang memandang obat paten sebagai obat bagus tentu tidaklah sepenuhnya salah, tetapi menganggap obat generik sebagai obat kelas bawah dan bermutu rendah inilah yang tidak benar. Pandangan rendah terhadap obat generik jelas menimbulkan masalah dalam pelayanan kesehatan di tanah air.

Salah satu penyebabnya adalah penggunaan istilah ‘obat paten' yang salah di masyarakat, serta telah mengalami pergeseran makna. Istilah ‘obat paten' bagi masyarakat di Indonesia terutama masyarakat Sumatera Barat langsung dikaitkan dengan kualitasnya, karena kata-kata ‘paten' dalam keseharian masyarakat bermakna ‘top' atau ‘paling bagus.' Sehingga secara langsung memandang obat paten adalah obat paling bagus dan sebaliknya obat generik adalah obat berkualitas rendah.

Sebenarnya yang dimaksud dengan obat paten itu adalah ‘obat bermerek' (Branded name medicine). Obat bermerek ini merupakan obat yang dipasarkan dengan nama dagang tertentu yang didaftarkan oleh perusahan produsennya, sedangkan obat generik dipasarkan dengan nama aslinya yang dapat diproduksi oleh setiap perusahaan produsen obat, misalnya obat generiknya adalah Paracetamol dan nama dagang lainnya adalah Panadol, Sanmol, dan lain sebagianya. Namun asumsi umum masyarakat bukanlah demikian.

Pandangan rendah masyarakat terhadap obat generik ini diperparah oleh dokter pada preaktek pribadi dan pelayanan swasta yang hampir tidak pernah memberikan informasi apalagi memberikan resep obat generik tersebut. Akhirnya menjadi asumsi umum bahwa obat generik adalah obat murahan dengan bukti tidak pernah direkomendasikan dokter.

Dengan memandang rendah mutu obat generik, masayarakat atau pasien merasa tidak puas terhadap pelayanan kesehatan bila mendapat obat generik. Masyarakat menganggap pengobatan yang diberikat bukanlah pelayanan maksimal.

Pandangan rendah ini juga berimbas kepada pandangan masyarakat pada pengobatan di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Puskesmas yang menyediakan pelayanan kesehatan terdepan dengan memberikan obat generik dianggap sebagai tempat berobat masyarakat kelas bawah. Puskesmas yang seharusnya menjadi pusat pelayan kesehatan menyeluruh mulai kedokteran pencegahan dan pengobatan tidak dapat berjalan dengan baik.

Masyarakat yang mempunyai biaya yang cukup untuk berobat lebih cenderung untuk berobat langsung ke dokter spesialis atau ke rumah sakit besar, meskipun penyakitnya hanya pegal-pegal atau batuk pilek biasa. Pada sebagian masyarakat, perilaku dan gaya berobat seperti ini merupakan suatu ‘prestise' dan sebaliknya mereka ‘gengsi' untuk berobat ke Puskesmas.

Pada kelompok masyarakat yang mempunyai Asuransi Kesehatan (Askes) yang harus mendapatkan rujukan untuk berobat ke Rumah Sakit (RS) besar tidak jarang datang ke Puskesmas bukan untuk menceritakan keluhannya, tetapi datang langsung untuk meminta surat rujukan. Mereka menilai berobat ke ke RS adalah hak mereka.

Padahal jika kasus yang dirujuk bukanlah penyakit yang membutuhkan pemeriksaan dan pengobatan lebih lanjut justru akan merugikan pasien itu sendiri, karena dengan banyaknya kasus dan kunjungan di RS, dokter akan lebih fokus pada kasus-kasus tingkat lanjut. Juga, pengobatan yang didapat di RS juga tidak akan jauh berbeda dengan di Puskesmas yang mungkin hanya dengan ‘merek' obat yang berbeda.

Pandangan rendah terhadap obat generik dan Puskesmas juga telah ikut merusak citra pelayanan kesehatan di RS besar, terutama RS publik yang menjadi RS rujukan.

Kita bisa saksikan pada ruang rawat jalan di berbagai RS besar telah berubah fungsi secara defakto sebagai Puskesmas raksasa dengan antrean panjang pasien yang akan berobat. Banyak pasien yang harus dilayani yang sebenarnya hanya merupakan kasus medik ringan yang dapat ditangani di Puskesmas. Dengan kondisi seperti ini dimungkinkan pasien tidak dapat terlayani dengan optimal yang akhirnya juga memperburuk citra RS di mata masyarakat.

Sebenarnya, pelayanan kesehatan di Puskesmas telah dilengkapi dengan fasilitas kesehatan dasar, petugas, dan obat-obatan utama. Masyarakat sebenarnya dapat mendapatkan pengobatan standar di Pukesmas mulai dari keluhan-keluhan ringan sampai pada pengobatan lanjutan Tuberculosis (TB), diabetes mellitus (sakit gula), dan penyakit jantung. Dokter dan petugas di Puskesmas mengetahui kapan suatu penyakit atau kasus tersebut harus dirujuk pada pelayan tingkat lanjut, seperti kontrol ulang penyakit jantung dan sakit gula. Inilah seharusnya yang diketahui oleh masyarakat.

Oleh karena itu, untuk mengubah citra kurang baik pada obat generik dan Puskesmas harus dilakukan upaya menyeluruh mulai dari pendidikan terhadap masyarakat tentang obat dan pelayanan kesehatan, perilaku petugas kesehatan, hingga kebijakan pelayanan.

Salah satu usaha untuk memperbaiki pandangan masyarakat terhadap obat generik dan Puskesmas adalah melalui penyuluhan. Masyarakat harus diberikan pemahaman tentang apa dan bagaimana obat generik itu sebenarnya. Bahkan harus diusahakan dapat memasyarakatkan penggunaan istilah ‘obat bermerek' sebagai pengganti istilah obat paten.

Memang ada beberapa obat yang hanya dipasarkan dengan nama dagang tertentu, tetapi biasanya obat ini adalah untuk penatalaksanaan penyakit tingkat lanjut. Harus diakui juga, ada beberapa keuntungan berobat dengan obat bermerek bila obat tersebut merupakan obat kombinasi, karena bila dengan obat generik tentu harus mengkonsumsi lebih dari satu macam obat.

Namun memandang rendah obat generik adalah suatu kesalahan. Bahkan bila penyakit hanya membutuhkan obat tertentu maka memberikan obat tunggal (non kombinasi) dan obat generik adalah pilihan yang tepat.

Para pelayan kesehatan terutama pada pusat pelayan kesehatan swasta juga harus memberikan informasi yang benar, objektif dan jelas tentang obat generik pada pasien, dan pasien juga seharusnya dapat menentukan pilihan untuk mendapatkan obat generik.

Selanjutnya, semua komponen masyarakat mulai dari pejabat, anggota dewan, hingga rakyat biasa harus memahami dan menghargai pelayanan kesehatan kepada Puskesmas. Puskesmas harus dihargai sebagai pelayanan kesehatan terdepan bukan hanya bagi masyarakat berekonomi lemah.

*) Dr.Hardisman, MSc, pemerhati masalah kesehatan masyarakat.

Wednesday, July 9, 2008

Mengapa dan Bagaimana Menertibkan Rokok



(Diterbitkan oleh Padang Media, Sabtu, 19 Juli 2008)

Beberapa pemerintahan kota di Sumbar saat ini menjadikan pengaturan rokok dan pencemaran udara menjadi salah satu wacana yang akan dituangkan dalam peraturan pemerintah daerah (Perda) pada beberapa kota di Sumbar. Kota Padang Panjang misalnya, peraturan tentang rokok telah masuk dalam salah satu diantara sepuluh Ranperda yang akan dibahas di DPRD setempat yang juga akan menjadi PR bagi walikota terpilih kedepan.

Mengapa baru sekarang para pemimpin dan politikus berfikir akan mengatur tentang rokok dan pencemaran udara pada tempat pubklik, dan bukankah dampak negatifnya sudah nyata? Jawabannya tidak semudah yang difikirkan, karena rokok telah ikut andil dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, mulai dari pertanian, industri dan perdagangan.

Secara nasional, dalam bidang produksi dan pertanian, Indonesia tercatat sebagai negara penghasil tembakau dan rokok terbesar ketujuh di dunia. Rokok juga telah menjadi salah satu industri utama di tanah air ini. Sehingga harus diakui, industri ini juga telah berperan dalam pembangunan ekonomi Indonesia.

Industri ini telah ikut menyuburkan perekonomian mulai dari sektor pertanian, ketersediaan tenaga kerja industri dan devisa negara. Pada sektor pertanian, ia telah mengisi sekitar 1% lahan dan secara langsung menyerap tenaga kerja sekitar 0,5% dari total kesedaian tenaga kerja nasional. Bahkan untuk dareah Sulawesi Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat, jika dibandingkan dengan usaha pertanian lainnya, tembakau juga sebagai usaha pertanian utama. Jika digabungkan dengan kesediaan tenaga kerja pada sektor indusri lainnya, kesetedian tenaga kerja pada sektor yang terkait dengan usaha rokok dan tembakau telah secara bermakna ikut menuntaskan kemiskinan.

Pada hal yang sama, industri ini juga telah menyumbangkan devisa negara yang cukup besar melalui pajak dan cukai. Pada tahun 2005 misalnya, negara memperoleh sekitar 300 miliar US dolar pendapatan pajak dan cukai rokok dari total 3,2 triliun US dolar atau sekitar 0,12% total pendapatan negara (248 triliun US dolar).

Apakah segala bentuk keuntungan itu lebih berarti dari dampak negatifnya? Ternyata tidak, bahaya dan dampak buruk ekonominya labih parah dari manfaatnya itu.

Dari suvei yang dilakukan Achadi dan kawan-kawan pada tahun 2005, lebih dari 62% laki-laki di Indonesia adalah perokok. Dengan jumlah penduduk yang cukup besar, Indonesia telah menjadi negara perokok terbesar kelima di dunia. Merokok juga menjadi bagian gaya hidup masyarakat, dan tak sedikit orang yang addiksi dan dependensi terhadap rokok. Umumnya mereka adalah perokok kronis dengan mulai merokok pada saat usia belasan.

Berbagai studi dilaporkan bahwa rokok adalah faktor resiko utama terjadinya berbagi penyakit, seperti gangguan pernafasan, penyakit jantung, gangguan kehamilan, stroke dan kanker. Dan degan usia merokok lebih lama, maka tidaklah mengherankan angka penyakit ini juga lebih tinggi di negara kita. Penyakit jantung-pemnbuluh darah dan paru merupakan penyakit pembunuh utama di tanah air ini, dan juga dibuktikan bahwa penyakit-penyakit tersebut lebih banyak terjadi pada perokok.

Bahkan kalau dianalisa lebih jauh, dampak ekonomi akibat rokok ini jauh lebih mahal. Achadi dan kawan-kawan menyebutkan rata-rata biaya pengobatan akibat rokok memakan biaya sekitar 50% dari total pendapatan nasional. Tentu ini jauh lebih tinggi dari pendapatan yang diperoleh negara yang hanya 0,12%. Namun dampak negatif ekonomi ini tidak dapat dirasakan secara langsung, tidak seperti manfaat kesetediaan lapangan kerja. Tetapi, kalau disadari, dampak negatifnya ini tidak bisa dinilai dengan uang dan materi; ini adalah masalah kesehatan dan kualitas hidup.

Terlebih lagi, yang menjadi perhatian utama adalah nasib orang-orang yang tidak merokok. Mereka telah menjadi ‘Perokok pasif’ yang juga harus menaggung penderitaan dan dampak buruk asap rokok. Saat ini di berbagai fasilitas umum sperti bus kota dan bahkan sekolah dan lorong-loring rumah sakit, sangat mudah kita temui orang-orang merokok dengan seenaknya tanpa harus memikirkan kesehatan dan hak orang lain yang berada disekitarnya.

Oleh karena itu, melihat kepada berbagai aspek diatas, maka harus diambil sikap yang bijak dan berdasar dengan prinsip ‘Penertiban dan penyadaran tanpa pemaksaan tapi saling menghargai hak dan kewajiban.’

Salah satu usaha yang bijak ialah dengan metapkan tempat-tempat publik sebagai kawasan bebas rokok seperti yang sedang digodok oleh beberapa Pemda saat ini, dan juga pelarangan penjualan rokok pada anak-anak. Peraturan ini harus tegas dan mengikat yang harus dilengkapi dengan sangsi pelangarannnya. Dengan pengaturan seperti ini, maka orang-orang yang tidak merokok terutama anak-anak dan wanita hamil akan terlindung hak-hak nya.

Namun kesadaran masyarakat sangat dituntut untuk suksesnya pelaksanaan peraturan ini. Kalau kita berkaca pada yang sudah-sudah, secara nasional sebenarnya ada peraturan tentang rokok, seperti PP No.81 1999 yang terakhir diamandemen dengan PP No.19 2003. Dalam peraturan tersebut diatur tentang periklanan dan juga tentang pelarangan merokok pada tempat-tempat umum. Tetapi jika dilihat kenyataannya, peraturan itu hanya seperti teks yang tak bergigi. Contoh nyata, DKI Jakarta memberlakukan dengan tegas tentang pelarangan rokok ditempat-tempat umum dengan Perda No. 2 Tahun 2005 dan Peraturan Gubernur Nomor 75 Tahun 2005. Tetapi pelaksanaannya jauh dari harapan, karena tidak diikuiti oleh kesadaran masyarakat. Bahkan PP ini juga diperkuat dengan PP tentang pencemaran udara Jakarta No 2/2006, namun masih hal yang lumrah kita jumpai orang merokok di tempat-tempat umum.

Kalau berkaca pada negara-negara maju, pelarangan penjualan rokok pada anak-anak dan merokok pada tempat umum adalah suatu hak yang biasa, dan tidak ada protes dari masyarakat dan semuanya dengan sadar mematuhinya. Di South Australia misalnya ada South Australian Tobacco Product Regulation Act yang terakhir dikeluarkan tahun 1997 dan 2003, setara dengan Perda Propinsi di Indonesia. Kalau masalah subtansi mungkin tidak jauh berbeda dengan Perda Rokok DKI Jakarta, namun dapat dilaksanakan tanpa kendala. Pelanggran terhadap aturan penjualan misalnya didenda 5000-10.000 dolar, dan merokok pada sembarang tempat sekitar 200-750 dolar. Sebagaimana negara taat hukum, peraturan ini dilaksanakan pada semua orang tanpa pandang bulu.

---
Oleh: Hardisman,MD,MSc
Pemerhati Masalah Kesehatan masyarakat
---------------------------------------------------------------------------------

Thursday, July 3, 2008

Perlu Langkah Kongkrit untuk Pendidikan

PADANG EKSPRES, Jumat, 04 Juli 2008

Oleh : Hardisman.

Gagasan gubernur GF untuk menumbuh kembangkan pendidikan disambut hangat oleh berbagai tokoh di daerah ini. Dalam tahapan wacana berbagai istilah muncul saat menyambut ide baik ini, seperti ‘Industri Otak, Industri SDM dan Industri Orang Baik.’ Terakhir cendekiawan terkemuka ranah Minang yang juga Guru Besar Universitas Negeri Padang, Prof.Mestika Zed, mengingatkan agar urusan pendidikan tidaklah sama dengan urusan teknis namun menyangkut kebpribadian dan budaya (Padang Ekspres 28-29 Juni 2008). Menurut beliau, pendidikan seharusnya tidak dijadikan ‘komoditi pasar’ namun melahirkan lulusan yang berbudaya.

Terlepas dari istilah dan terminologi yang digunakan, tentu yang jauh lebih penting adalah bagaimana mewujudkan cita-cita mulia itu, yaitu upaya apa yang harus dilakukan untuk memajukan sektor pendidikan di ranah minang ini. Bukan dalam artian penggunaan istilah tidak perlu, namun memprogramkan dan melaksanakan langkah-langkah kongrit akan lebih berarti. Dalam hal ini, Gubernur GF mengusulkan adanya suatu Yayasan yang berperan dalam menunjang pendidikan putra-putri daerah ini, yang nantinya diharapkan mereka menjadi tokoh dan juga akan berperan untuk pembangunan negeri.

Meskipun istilah yang digunakan beragam, serta setuju atau tidak kita akan gagasan Gubernur, agaknya ada satu esensi yang dapat disepakati, yakni agar putra-putri daerah ini yang punya potensi dapat terus melanjutkan pendidikannnya sehingga dapat berkarya untuk negeri ini, dan sebaliknya tokoh-tokoh minang yang sudah mapan ikut andil dalam memajukan pendidikan.

Hal ini sangat penting, kalau kita sadari ketika dulunya ada beberapa tokoh minang di tingkat nasional, regional dan internasional, pertanyaannya ‘Apakah ada peran dari daerah ini untuk membesarkan mereka?’ ‘Apakah mereka yang dibesarkan Ranah Minang, atau karena nama merekalah Ranah Minang ini menjadi besar?’ Seperti yang diungkapkan Prof.Bustanuddin Agus sebelumnya (Padang Ekspres, 24-6-2008), tidak saatnya lagi ‘Mengapit daun kunyit,’ dimana ketika ada tokoh yang berasal dari sumbar kita ramai-ramai mengatakan itu adalah orang kampung kita, namun ketika mereka sedang berjuang, kita entah dimana. Persis seperti seorang mamak yang tak peduli dengan pendidikan dan nasib kemenakannya, bahkan ketika kemenakan mau melanjutkan sekolah dengan mematahkan semangat ia berkata ‘Indak kalai do, indak sarupo awak urang ka manggapai cito-cito tinggi.’ Namun ketika kemenakannya berhasil, dengan semangat ia berkata ‘Itu kamanakan ambo.’

Selanjutnya, nostalgia akan tokoh-tokoh masa lampau harus diikuti program nyata untuk mewujudkannya kembali. Kita memang sering terbuai dengan kisah lama. Terkadang romantisisme zaman lampau itu tidak diimbangi dengan langkah konkrit. Terlebih lagi, kita hanya kembali ke masa lampau tanpa melihat sejarah secara utuh. Ketika ada tokoh-tokoh yang lahir didaerah kita dulunya, seolah-olah kita menganggap sistim pendidikan kita dulunya adalah mapan dan berkualitas dari segala sisi. Kalaulah demikian adanya, akan ada ratusan yang berkualitas HAMKA, M Yamin, Agus Salim, Tan Malaka, Hatta dan lainnya. Tapi kenyataannya, justru hanya ada satu orang yang berkualitas HAMKA dari Maninjau dan begitu juga yang lainnya. Oleh karena itu untuk mewujudkan atau melahirkan kembali tokoh-tokoh dari daerah ini tentu harus belajar dari sejarah yang dilihat secara utuh konteks dan sistim pendidikannnya dan bukan sekedar nostalgia belaka.

Jangan Hanya Berharap pada Pendidikan Tinggi

Tanpa memandang istilah yang digunakan, kiranya juga disepakati bahwa tujuan pendidikan adalah melahirkan insan yang berkualitas secara keilmuan, mempunyai skill yang dapat diterapkan, berwawasan, bermoral, ber-etika dan berbudaya.

Namun, pada tataran Perguruan Tinggi (PT), pendidikan harus dilihat kontekstualnya dan sasarannya secara teknis keilmuan. Pelaksanan pendidikan pada PT dilaksanakan dalam kekhusuan bidang ilmu yang mengarah kepada komptensi masing-masing bidang ilmu tersebut. Oleh karena itu berharap banyak pada proses pendidikan tinggi yang akan melahirkan lulusan yang berwawasan budaya adalah terlalu jauh. Mata ajaran dalam bidang keilmuan itu saja sudah menyita banyak waktu apalagi harus ditambah dengan nilai-nilai budaya.

Begitu juga halnya jika PT diharapkan sebagai tempat yang membentuk dari awal kepribadian, tentu terlalu sulit. Sesuai dengan sasaran komptensi profesionalnya, PT hanya mengarahkan kepribadian peserta didik yang sudah ada kepada kepribadian professional itu sendiri, misalnya pada pendidikan Hukum diarahkan pada etika dan sikap professional profesi hukum, pada pendidikan Kedokteran diarahkan pada kepribadian dan etika kedokteran. Tetapi jika pembentukan kepribadian dan etika ini tidak dibentuk dari keluarga, masyarakat dan pendidikan dasar, tentu sulit menanamkan nilai-nilai itu. Artinya, dalam mendapatkan hasil lulusan pendidikan yang berilmu, beretika dan berbudaya harus dibentuk semenjak pendidikan dasar dengan keterlibatan keluarga dan masyarakat.

Budaya atau Karakter?

Jika budaya diartikan dalam makna luas yang bermakna ‘karakter’ maka akan lebih applicable dalam bentuk langkah-langkah kongkrit. Jika kata-kata Prof. Mestika Zed ‘Gulai banak, masakan khas Rumah Makan Padang’ dalam dunia pendidikan dapat diartikan sebagi cirri khas pendidikan tinggi maka akan dapat diwujudkan dalam bentuk program nyata.

Hal ini agaknya kita perlu sedikit belajar pada negara tetangga, di Australia misalnya, mereka tidak terlalu sibuk dengan peringkat universitas yang dikeluarkan oleh Times Higher Education atau Webometric. Meskipun itu dapat dijadikan sebagai tolak ukur kualitas, tetapi universitas-univeritas di negeri itu lebih giat melakukan langkah nyata mengembangkan pendidikan mereka sesuai dengan cirri khasnya. Ciri khas inilah yang akhirnya menjadi nilai tambah tersendiri. Beberapa contoh berikut adalah universitas-universitas yang menurut peringkat berbagai lembaga tidak masuk dalam daftar 200 universitas terkemuka dunia, namun mereka mempunyai nilai khas yang diakui dan jadi rujukan dunia. Diantaranya; James Cook University menjadi terkemuka dalam bidang penyakit tropik dan manjadi salah satu pusat laboratorium WHO, Tasmania University dalam bidang ilmu kelautan dan Flinders University terkemuka bidang Public Policy dan sistim kompetensi pendidikan kedokteran berbasis komunitas dan PBL (Problem Based Learning).

Karakter atau keunggulan khas inilah yang agaknya harus dimiliki oleh perguruan tinggi di ranah minang ini. Berdasarkan kondisi wilayah dan sosial kemasyarakatan, misalnya perguruan tinggi di daerah ini dapat mempunyai program unggulan dalam bidang budi daya dan pengolahan hasil pertanian, penyakit jantung, pembuluh darah dan stroke, serta ilmu kelautan dan wilayah pesisir. Bukan dalam artian mengenyampingkan program lainnya, namun dengan mempunyai program unggulan tertentu akan menjadikan pendidikan tinggi kita lebih maju dan punya warna tersendiri.***

Wednesday, July 2, 2008

Belajar dari Kasus KEPRI

Pandangan Objektif Terhadap Dugaan Malpraktek
Oleh: Hardisman*)
(Diterbitkan Oleh Media Padang Kini, 19 Juli 2008)

Isu-isu dan dugaan malpraktek mulai menjadi sorotan media dan berbagai organisasi kemasyarakatan di Indonesia. Begitu juga di propinsi Kepri ini. Dugaan dan tuntutan dari masyarakat juga kemudian didukung oleh berbagai swadaya masyarakat (LSM). Di Kepri, Lembaga Bangtuan Hukum (LBH) Kesehatan merupakan organisasi yang paling aktif menyuarakan hal ini. Yang paling akhir, LBH Kesehatan secara tegas telah menyatakan tingginya angka Malpraktek di Kepri pada aksinya akhir Mei 2008.

Akhirnya, timbullah konflik professional yang tidak hanya antara IDI dan LBH, tetapi juga antara dokter secara individu dan pasien. Dalam bentuk nyata, sebagaimana yang diberitakan Media ini (Sijori Mandiri, 10 Juni 2008), dokter-dokter yang tergabung dalam IDI Kepri melakukan unjuk rasa, menyampaikan aspirasinya ke Pemerintah Daerah 9 Juni yang lalu. IDI menilai tuntutan dan isu malpraktek dijadikan komoditi oleh pihak-pihak tertentu dan sengaja untuk menyudutkan dokter.

Sebaliknya, sebahagian masyarakat menilai bahwa dokter seakan-akan selalu menolak akan segala tuduhan dan tuntutan dari pasien. Oleh karena itu, perlu penulis mengajak untuk melihat permasalahannnya secara objektif dan berdasar. Dugaan-dugaan malpraktek tersbut tidak terlepas dari pemahaman pasien dan masyarakat umumnya terhadap pelayanan kedokteran, perbedaan persepsi, kurang terjalinnya komunikasi dan juga sikap dokter.

Pertama, perlu diketahui bahwa pelayanan kedokteran adalah pelayanan jasa sosial yang unik yang tidak dapat disamakan dengan pelayanan jasa lainnya, apalagi dengan pelayanan teknik. Meskipun secara perundang-undangan pasien sebagai konsumen dokter dapat menggunakan hak-haknya sesuai UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Pelayanan kedokteran dititik beratkan pada intensi (niat) dan upaya (proses) yang dilakukan oleh dokter. Hasil (outcome) selalu dilihat dari sisi apakah upaya dokter sudah maksimal dan tepat. Dalam hal ini, ketika seorang pasien meminta pertolongan dokter untuk membantu kesembuhannya, secara implisit dokter dan pasien tersebut telah melakukan suatu kontrak “Usaha maksimal.” Maka dokter sesuai ilmunya, keahlian dan pengalaman empiris akan berfikir bahwa dengan diagnosis yang ia tegakkan dan terapi yang ia berikan pasien akan sembuh. Tetapi, secara ilmiah, kesembuhan adalah proses biologis dari interaksi pengobatan atau tindakan yang diberikan dengan penyakitnya. Tambahan lagi, bagi kita orang yang beragama, kepastian kesembuhan adalah hak “Tuhan.”

Lalu apakah dokter dapat dituntut secara hukum bila pasien yang diobatinya tidak sembuh atau bahkan kedaannya malah bertambah jelek setelah beberapa kali pengobatan, sedangkan dokter tersebut telah berbuat sesuai ilmunya? Inilah salah satu yang penyebab adanya dugaan malpraktek tersebut. Karena boleh jadi masyarakat (pasien) melihat bahwa akibat tindakan dokterlah kondisi penyakitnya menjadi lebih parah. Sebaliknya, menurut ilmu kedokteran bila penatalaksanaan kasus sudah didasari atas diagnosa yang tepat, terapi yang tepat, dengan dosis dan cara yang tepat pula; maka sudah dapat dipertanggungjawabkan dan bukanlah suatu malpraktek, meskipun hasilnya bertolak-belakang dengan yang diharapkan.

Kedua, tindakan medis, baik tindakan diagnosis (menentukan penyakit) maupun tindakan terapeutik (pengobatan) juga dapat menimbulkan efek samping. Misalnya, pemasangan infus saja dapat menimbulkan pembengkakan dan radang pada tempat suntukan jarum infus tersebut. Apalagi pengobatan, tindakan dan prosedur medik tingkat lanjut lainnya.

Jika efek samping ini terjadi tentu tidak dapat langsung dikatakan sebagai suatu kelalaian atau kesalahan medik. Karena secara keilmuan radang dan pembengkakan tempat suntikan infus dapat disebabkan berbagai faktor, kebersihan dan pergerakan pasien, dan tentu juga faktor perawat atu dokter saat pemasangan, atau sterilitas alat yang dipasang. Pertanyaan mendasar adalah apakah jika petugas (dokter) telah melakukan tindakan sesuai keilmuannya dan sterilitas yang baik, kemudian terjadi komplikasi, dapat dikatakan suatu malpraktek, atau dapat dituntut secara hukum? Tentu tidaklah demikian, karena jika efek samping tersebut terjadi, maka harus dilihat apakah memang akibat dari kesalahan pelayan kesehatan.

Ketiga, berdasarkan fenomena diatas dapat dilihat bahwa timbulnya berbagai polemik akibat tindakan medis tersebut adalah akibat besarnya perbedaan ilmu, persepsi, dan pandangan antara pihak tenaga kesehatan (dokter) dan masyarakat (pasien). Dan dalam hal ini ada peran dokter. Dokter yang diduga melakukan malpraktek kemungkinan besar tidak memberikan penjelasan optimal, lugas dan jelas yang dapat dimengerti oleh pasien tentang pengobatan atau tindakan yang akan dilakukan. Harus diakui, bahwa memang masih ada dokter yang ‘susah berbicara’ atau tidak bisa membahasakan bahasa-bahasa kedokteran yang rumit menjadi bahasa sederhana yang dipahami pasien. Sehingga setelah semuanya terjadi ia merasa bahwa itu adalah akibat kesalahan dokter.

Hal ini agaknya kita perlu belajar dari sejawat dinegara tetangga. Di Singapura dan Australia misalnya, berdasarkan pengamatan penulis, seorang dokter yang akan melakukan tindakan medis pada seorang anak, ia menjelaskan dengan bahasa sederhana segala aspek dan konsekuensinya kepada anak tersebut. Inilah suatu yang sangat positif, dimana dokter tidak hanya menerangkan pada orang tuanya tapi juga kepada anak itu sendiri. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh dokter-dokter di tanah air ini, yakni senantiasa menghargai, meluangkan waktu dan membuka diri terhadap pasien. Inti sebenarnya hanyalah kembali melaksanakan sumpah dokter dan mentaati UU No 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.

Sudah selayaknyalah dokter harus bersikap dan bertindak yang tidak hanya sesuai indikasi medis dan kepentingan pasien, tetapi juga yang dilandasi dengan nilai-nilai agama, moral, etika, dan sumpah kedokteran. Dokter harus menjelaskan secara optimal kepada pasien/ kelurganya akan kondisi dan perjalanan penyakitnya, rencana terapi dan segala resiko yang mungkin terjadi. Persetujuan atau penolakan tindakan medis oleh pasien/ keluarga pasien harus dilakukan secara tertulis sebelum tindakan tersebut dilakukan dan setelah mereka mendapat penjelasan secara lengkap dan baik. Menurut hemat penulis, bila ini bisa dilakukan, maka jika ada dugaan malpraktek dapat diselesaikan dengan baik. Bila dokter benar-benar melakukan pelanggaran dapat dituntut secara hukum.

*)Hardisman,MD,MSc, Alumnus Faculty of Medicine of Andalas University (FK-Unand), Padang & Flinders Medical School and Medical Center, South Australia.
-----------------------------------------------------------------------

Thursday, June 26, 2008

Menara Gading” Profesi Kedokteran: Antara Harapan dan Realita

"Sebuah Kontemplasi dan Autokritik"
(Media PADANG-KINI, 29 Juni 2008)

Harapan dan Cita-Cita Kita Sebenarnya
Secara umum citra profesi ini masih berada dalam kelompok profesi yang mempunyai citra yang tidak jatuh begitu dalam dimata masyarakat. Namun profesi ini juga telah menjadi sorotan miring dan negative.

Fakultas Kedokteran sebagai suatu institusi, sesungguhnya mempunyai tujuan dan jati diri yang luhur. Fakultas Kedokteran lahir sebagai tuntutan kondisi masyarakat yang yang masih bertumpuknya masalah kesehatan. Ia hadir untuk ikut langsung menuntaskan masalah-masalah penyakit infeksi yang tak kunjung selesai serta penyakit kronik degeneratif yang mulai menggunung. Sehingga secara tertulis dan teoritis, Fakultas Kedokteran bertujuan untuk melahirkan dokter yang mempunayi ilmu dan skill medis dan klinis yang baik, bermoral dan ber-etika serta berwawasan luas. Idealis memang, namun begitukah cita-cita luhur hadirnya, dan harapan setiap lulusannya. Dengan istilah yang lebih popular dalam pendidikan kedokteran, Fakultas kedokteran bertujuan melahirkan dokter yang “Professionally Qualified, Socially and culturally acceptable.”

Saat ini, juga masih banyak orang tua yang mengidam-idamkan agar anaknya kelak menjadi dokter. Tidak jauh berbeda, bila ditanyakan pada anak-anak yang yang masih di sekolah dasar apakah cita-cita mereka, maka diantara jawaban mereka selain menjadi pilot, ahli computer dan president; menjadi dokter juga salah satu cita-cita mereka. Ini menjadi bukti bahwa, dari sedikit noda yang dimiliki profesi ini, ia tetap menjadi salah satu impian.

Banyak motif dan harapan mengapa seorang orang tua ingin anaknya menjadi dokter. Dan banyak juga alasan mengapa seorang tamatan SLTA mendaftar untuk masuk Fakultas Kedokteran, mulai dari karena alasan klasik untuk memperbaiki masa depan, hanya ikut-ikutan trend dan teman hingga mengikuiti paksaan orang tua. Namun diantara seribu alasan itu, masih ada tersisa dan tersisip tujuan mulia; ingin membantu sesama dan menolong orang yang tak mampu. Artinya, masih ada niat tulus dan murni bagi orang-orang yang ingin menjadi dokter. Jika hal ini digabungkan dengan dengan tujuan pendidikan di Fakultas Kedokteran, dimana mereka akan berproses nantinya, maka idealnya akan melahirkan dokter yang berkebribadian luhur.

Realita
Namun akhir-akhir ini kritikan tajam dan pedas datang mengantam profesi yang mulia ini. Profesi kedokteran yang dulunya dipuja, disanjung dan dinantikan kehadirannnya kini mulai luntur. Bahkan, sudah mulai ada hujatan terhadap profesi ini yang seharusnya berwibawa. Lalu tentunya kita bertanya, mengapa bisa begini?

Tentu banyak yang menjadi penyebab mengapa telah terjadi perubahan atas citra profesi ini. Zaman yang telah berubah, tuntutan masyarakat yang tinggi, sistim pelayanan kesehatan juga merupakan factor yang sangat menentukan.

Namun peran kita (dokter) tidaklah kalah pentingnya. Ibarat pepatah minang mengatakan “Kalau indak ado barado, indak tampua basarang randah,” yang artinya kira-kira sama dengan “Kalau tidak ada api tidak akan ada asap.” Artinya, sumber atau pelaku utama sangat berpengaruh akan efek yang muncul. Dalam hal ini prilaku dokter sangat menentukan bagaimana citra profesi ini.

Memang benar, diantara kita (para dokter) masih banyak yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai luhur profesi, dengan norma agama dan nilai-nilai kemanusian yang dianut. Akan tetapi, kesalahan yang dibuat oleh segelintir sejawat sudah mencemarkan profesi ini. Hukum sosial akan bermain, dimana perbuatan salah oleh dokter adalah suatu yang bertolak belakang dengan nilai-nilai yang seharurnya dimiliki. Ini adalah suatu ‘Kenehan,’ dan keanehan akan menjadi sorotan. Sorotan yang berulang-ulang akan menjadi asumsi umum. Akhirnya, dengan asumsi yang sudah mulai negatif,maka janganlah heran, sedikit saja kekhilafan yang dubuat oleh dokter tidak bisa dimaafkan oleh masyarakat. Maka ini jugalah salah satu faktor yang menyebabkan munculnya berbagai dugaan malpraktek.

Harus diakui, pada kenyataannya dimata masyarakat profesi kedokteran telah menjadi berubah menjadi seperti sebuah ‘Menara gading.’ Megah-mewah tapi tidak melindungi. Seperti sebuah menara yang hanya dapat diraih oleh orang-orang tertentu. Makin mewah menaranya, makin susah untuk meraihnya, dan makin megah menaranya makin tinggi pula biaya untuk mendapatkannya.

Kalau dilihat lebih jauh, berprilaku sesuai nilai-nilai luhur tidak hanya berdasarkan tuntutan agama dan sosial. Berprilaku professional, mempuyai budi luhur dan menhargai pasien ditegaskan juga pada lafal Sumah Dokter yang diucapkan ketika seorang ‘dilantik’ (judisium) menjadi dokter. Sekedar mnyegarkan ingatan kita, Dari 10 poin sumpah tersebut, ada 3 poin yang secara eksplisit dan tegas berkaitan langsung dengan sikap terhadap pasien. Pada poin pertama diucapkan “Saya membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.” Pada poin 4 “Kesehatan penderita akan saya utamakan, dan pada poin 9 “Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan. Berdasarkan nilai-nilai luhur agama, moral, dan etik, serta sumpah kedokteran tersebut, dokter dituntun untuk bersikap dan bertindak.

Tambahan lagi, pada tahun 2004, telah diundangkan secara spesifik Undang-Undang (UU) tentang Praktek Kedokteran (UU No 29 tahun 2004). Terlepas adanya pro dan kontra akan kelengkapan dan muatan UU tersebut, namun didalamnya sebenarnya hanya menegaskan akan arti pentingnya ‘Prilaku Profesional”; yakni mengerti dan mentaati aturan administratif, dan menghormati hak dan tanggung jawab pasien.

Akhir kata, penulis menyampaikan bahwa tulisan ini hadir sebagai autokritik pribadi buat profesi dokter (kita): buat saya dan anda para sejawat dokter semuanya. Tidak ada maksud lain, kecuali ingin merubah diri dan mengajak sejawat semua untuk kembali dan senantiasa manjunjung tinggi nilai-nilai luhur profesi. Yang akhirnya mengembalikan citra dan kewibawaan profesi ini. Semoga…!

Wassalam & Banyak Maaf,
Hardi

Note: Nanti tulisannya disambung: digali sedikit penyebabnya (dengan Judul: Merubah Citra dan Paradigma Profesi dan Pelayanan Kesehatan), juga Bagaimana kabar & keadaan profesi dokter di negara-negara tetangga sbg perbandingan bagi kita.

Saturday, June 21, 2008


Unek-Unek dan nasehat untuk diri Sendiri:
(Diterbitkan oleh Harian Padang Kini, & dapat juga di klik di: http://www.padangkini.com/opini/?s=kolomd&id=25 ).

Mengembangkan Potensi Untuk Membangun Negeri: Sebuah Autokritik
---------------------------------------------------------------

ADA angin segar yang sangat bagus bagi dosen, baik yang bertugas di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ataupun swasta (PTS) dengan adanya program terbaru dari Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) untuk memberikan beasiswa pendidikan pascasarjana master (S2) dan doktoral (S3) di luar negeri.

Kesempatan ini sungguh sangat berarti dalam meningkatkan kualifikasi para pendidik di perguruan tinggi kita. Betapa tidak, boleh diakuai selama ini para dosen yang berniat dan berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan tinggi di luar negeri lebih tergantung dari sponsor dan pemberi beasiswa asing. Sebut saja misalnya AusAID, ADB-JSP, World-Bank, Aminef-Fullbright, Ford Fondation, Chevening, GSA-NUS, StuNed, DAAD, Monbukagakusho, dan beberapa beasiswa langsung dari perguruan tinggi.

Terlepas dari adanya kerja sama dan hubungan politik antara pemerintah Indonesia dengan negara dan lembaga pemberi beasiswa tersebut, namun jelas terlihat peningkatan kualifikasi pendidik perguruan tinggi kita selama ini lebih banyak tergantung dari ‘pemberian' orang lain. Namun dengan adanya program beasiswa tersebut, tentunya kita berharap ke depan perguruan tinggi kita lebih baik lagi.

Tulisan ini bukanlah mengkritisi bagaimana pelaksanaan program baru dari Dikti tersebut, karena tentunya kita semua berharap semoga pelaksanaannya harus seindah dan sebagus idenya.

Tulisan ini lebih merupakan autokritik terhadap para alumni pendidikan luar negeri dan juga resonansi untuk para kolega yang kembali melanjutkan pendidikan ke luar negeri, dengan pertanyaan: "Sudahkah potensi, ilmu dan skill yang didapatkan dari pendidikan di luar negeri tersebut teraplikasi dengan baik untuk pengembangan institusi di mana kita bekerja dan lebih luas lagi memberikan andil dalam pengembangan ilmu pengetahuan di tanah air ini?" Sebagai autokritik ada beberapa poin di bawah ini.

Pertama: Appresiasi Tanpa Rendah Diri

Ketika kita berada di negara maju dan menuntut ilmu di sebuah universitas ternama, tentunya akan merasakan suasana lain. Sebagai pelajar yang datang dari Indonesia yang masih tergolong negara berkembang, kita merasakan dan dapat menikmati fasilitas publik yang tentunya juga lebih baik. Tidak hanya fasilitas, secara nyata dan harus diakui, kita juga merasakan pemberi pelayanan pun mempunyai nilai sosial lebih baik pula.

Melalui perbincangan pribadi penulis dengan teman-teman yang sama menuntut ilmu di luar negeri, seperti UK, Australia, dan Belanda, semuanya mengakui menemukan suasana kota dan transportasi yang teratur, kedisiplinan yang dilakukan oleh semua petugas di segala lini dan ‘respect' atau penghargaan terhadap orang lain dalam memberikan pelayanan yang sangat dirasakan, seperti rumah sakit, kepolisian dan kantor-kantor pemerintah.

Tidak hanya pada perbincangan-perbincangan pribadi, diskusi-diskusi melalui milis pun tidak luput dari ungkapan-ungkapan pujian terhadap bagaimana wah-nya sebuah negara tempat singgah yang hanya sesaat itu.

Tentunya tidak salah dan malah baik jika kita memuji atau mengacungkan jempol untuk kemajuan dan yang dimiliki oleh negara-negara maju tersebut. Namun alangkah lebih baik lagi jika semua pengalaman yang positif itu bisa menjadikan kita lebih baik dan berkonstrubusi positif untuk negeri kita.

Tapi sayang, sebagian apresiasi positif terhadap kemajuan yang dimiliki oleh negara lain tersebut sering diikuiti dengan ‘rendah diri' terhadap negeri sendiri. Pada diskusi-diskusi di milis, tidak jarang komentar-komentar yang diberikan dalam menyanjung negeri orang lain secara eksplisit merendahkan negeri sendiri tanpa mengenal faktanya.

Misalnya, ketika kita melihat bagaimana pelaksanaan peraturan lalu lintas yang baik, lalu dengan gegabah mengatakan, "Lihat negara kita nggak ada peraturan seperti ini."

Tentu ini hanya akan menunjukkan ketidaktahuan kita tentang hukum dan undang-undang di negara kita sendiri. Atau contoh lain misalnya, ketika seseorang mendapat pelayan di rumah sakit dan menyaksikan peralatan pemeriksaan Radiologi yang bagus, lalu mengatakan, "Saya mendapat pemeriksaan medis langkap, kalau di Indonesia nggak ada nih yang seperti ini."

Ini tentunya juga menunjukkan bahwa ia tidak mengenal perkembangan negerinya sendiri, karena pemerikasaan Radiologi canggih apapun di Indonesia sudah merupakan fasilitas yang biasa.

Adalah benar, mereka (negara-negara maju) terebut lebih baik dari kita. Adalah benar, semua profesi di negeri ini: dokter, polisi, pengacara, dosen, guru politikus, harus berubah menjadi lebih baik atau seperti yang kita saksikan di negara-negara maju tersebut. Adalah baik juga, kita mengkritisi terhadap apa yang ada di negara kita, tetapi tidaklah ada artinya bila kita merendahkan negeri sendiri tanpa ikut andil dalam memberikan solusi untuk proses perbaikankan negeri ini.

Kedua: Mengubah Frustasi menjadi Prestasi

Setelah kembali ke tanah air, kita sebagai alumni luar negeri terutama yang di perguruan tinggi tentunya diharapkan dapat mengembangkan ilmunya sehingga berperan dalam mengembangkan institusi. Tapi sayang, ada di antara kita setelah kembali ke tanah air malah ‘frustasi' dengan keadaan yang ditemui.

Teman-teman lulusan luar negeri banyak yang berpendapat bahwa ‘cultural shock' yang dialaminya setelah kembali ke Indonesia jauh lebih berat dari saat yang dialami minggu-minggu pertama belajar di luar negeri. Betapa tidak, sebagian merasakan bahwa ketika meraka telah punya ilmu dan skill, tapi terhambat pengembangannya hanya tidak punya ‘suara' dan terhalang masalah senioritas.

Bahkan masalahnya lebih berat lagi yang dialami teman-teman yang mendalami ilmu-ilmu dasar, seperti bioteknologi, genetika, dan lainnya. Ketika mereka yang punya ilmu dan skill untuk melakukan penelitian dan pengambangan ilmu, namun tidak didukung oleh adanya sarana laboratorium dan pendanaan yang memadai. Seperti ungkapan seorang teman, jadilah ilmunya seperti ‘ilmu kebatinan' hanya untuk dimiliki tapi tidak untuk disebarluarkan.

Tentu tidaklah mudah bagaimana ‘mengubah frustasi ini menjadi sebuah prestasi' kerana terkait dengan berbagai fakor, baik sistem di universitas sendiri, pendanaan pendidikan, dan juga kita alumni luar negeri sebagai ‘orang baru' yang punya potensi. Ketiga-tiganya harus terus diperbaiki.

Sesuai dengan tujuan tulisan ini, sabagai autokritik lulusan luar negri, hanya melihat bagaimana sikap yang bisa dikembangkan. Sebagai seorang lulusan baru harus menunjukkan prestasi tanpa arogansi. Penyesuaian sosial dengan lingkungan kerja tanpa ikut arus yang salah, senantiasa berkarya dan berkreasi dengan bidang ilmu dan keahlian sesuai fasilitas yang dimiliki adalah mutlak dilakukan.

Akhirnya, diharapkan semua ilmu dan keahlian yang kita miliki tidak hanya terpatri di dalam pikiran kita seperti sebuah 'ilmu kebatinan' tapi harus senantiasa bisa dikembangkan untuk kemajuan institusi di mana kita berada yang pada akhirnya ikut andil dalam kemajuan negeri kita tercinta ini.
----------

Saturday, June 14, 2008

Gaya Pendidikan Kedokteran

Dari Saudara K di Padang.
Bagiamanakah sistim pendikan Kedokteran di dunia dan perbandingan-nya dengan Indonesia?

-->
Pendikan kedokteran di Indonesia adalah pendikan akademik profesional (sarjana:S1 dan profesi). Untuk masuk fakultas kedokteran, calon mahasiswa hanya disaratkan selesai pendidikan menengah (SMA dan sederajat), dengan latar belakang yang kuat di bidang IPA (Biologi, Fisika dan Kimia), yang hanya dibuktikan dengan lulus ujian masuk (UMPTN/SPMB). Ini sangat berbeda dengan pendidikan kedokteran di US dan Canada.

Sekedar gambaran, sistim US dan Canada: pendidikan kedokteran adalah
pendidkan lanjut setelah seseorang memperoleh gelar sarjana. Meskipun
pada kenyataan-nya, banyak yg telah memeproleh gelar master dan gelar
akademik yag lain baru masuk kedokteran. Pendidikan sangat intens,
lama pendidikan 4 tahun; 2 tahun preklinik, 2 tahun clerkship (plus
satu tahun intership). Dia Australia, sebagian universitas sejak tahun
1995 mulai ada yang menerapkan sistim ini, jadi pendidikan kedokteran
merupakan Graduate Entry. Sydney University & Flinders Univ (tempat
saya sekarang) menerapkan sistim ini secara murni.
Sedangkan Monash Uni dan Melbourne, menerapkan double entry, jadi ada
yang graduate (yang tua-tua..), ada yang tamatatan sekolah menengah
(spt di Indo).
Sedangkan universitas yang lain, spt Adelaide, James Cook & UNSW tetap
menerapkan penerimaan hanya untuk tamatan sekolah menengah.
Untuk sistim ini, spt halnya di Indo, masa pendidikan kedokteran 5
tahun. (Plus 1 tahun nantinya intersnship, tapi bukan wewenang
universitas lagi)

Proses pendidikan juga bermacam-macam, ada yang discipline based
sistem ada yang thematic based system denga PBL. Dan singkatan gelar
akademik untuk dokter juga bermacam-macam, ada yang MBBCh, MBBS, BMBS
ada yg BMed, yang semuanya setara dengan dokter atau MD untuk US/
Indonesia.

Untuk graduate entry, "jika memenuhi syarat", seperti halnya di US dan
Canada mahasiswa langsusng bisa mendaftar untuk double degree MBBS dan
PhD. Tapi lama pendidikan jadi 6 tahun karena ban yak dialokasikan
untuk mengerjakan Thesis PhD nya. Jadi jangan heran kalo ada dokter
lulusan UK, Australia atau US yang masih muda kok jg udah selesai PhD.

Praktek klinik mhs kedokteran Australa cukup bagus, boleh dikatakan
lebih banyak kesempatan.
Untuk tahap preklinis, skill lab mereka sudah advance sekali, mulai
dari alat-sederhana sampai 'high fidelity' spt; model untuk latihan
pemasangan IV line (infus), Jugular vein, catheter, pemerikasaan
nafas, jantung, alat simulasi yang dapat bersuara sesuai dengan
program yg diberikan, alat simulasi trauma, simulasi emergency dan
ICU, dll.
Untuk tahapan kepaniteraan, seperti di Indo mereka jg rotasi di RS
pendidikan selama setahun hanya untuk bagian besar (medicine,
obstetry, surgery, pediatry, general practice & psychiatry). Sedangkan
tahun terakhir lebih banyak merupakan kepaniteraan mandiri yang
disupervisi di RS kecil atau bisa ke negara lain.

Sistim manakh bagi kita yg lebih baik?
Kalo dibandingkan dengan negara2 lain, sistim yang kita terapkan lebih
mirip dengan sistim di Belanda, Jerman, Jepang, negara2 Sakndinavian &
Eropa Timur.
Saat ini, menurut saya sistyim kita sudak baik, 'tapi pelaksanaannya'
yang belum. Kita masih kekurangan fasilitas dan 'kurang kekompakan;
dalam menjalankan sistim itu.

Salam,
Hardi
----------

Wednesday, June 4, 2008

FPI vs AKBB: Mari menatap, mari meratap, mari berskap

Salam,

Kali ini saya posting yg bukan masalah kesehatan & kedokteran...
Karena prihatin juga dengan isu bangsa...
(Dipublikaan juga di Harian Umum Padang Ekspress, 9 Juni 2008: http://www.padangekspres.co.id/content/view/8597/80/)

Dalam beberapa hari ini sejak 2 Juni 2008 yang lalu sedang gemparnya media massa akibat bentrok nya FPI/KLI dengan AKBB..

Komentar saya: Be Fair, Be Objective...

Pertama: Mari mentap...
(BACA: JUJUR dengan kenyataan).

Dulu saya berfikir; mengapa ya Fatah dan Hamas di Palestina nggak bisa akur. Kemudian, saya coba sekikit telusuri dan baca-baca, ternyata memang sulit untuk disatukan karena terlalau banyak perbedaan prinsip yang meraka punyai, tidak hanya cara mereka berjuang, mungkin bisa dikatakan Ideologinya pun hampir-hampir berbeda.

Jangankan itu, beberapa hari terakhir melihat pemberitaan kemarin ‘Perseteruan antara FPI dan AKKBB’ yang tidak hanya adu otak, tapi sudah adu otot. Bahkan juga melibatkan orang-orang terdidik di ormas-ormas Islam. Tanpa menyebutkan tokoh ormas yang terlibat, saya jadi berfikir lagi, ini baru organisasi yang boleh dikatakan, tidak banyak perbedaan, hanya masalah "Cara," tapi sungguh sulit disatukan, apalagi sebuah organisasi besar yang melibatkan lintas negara.

Sebenarnya, kalau kita amati perkembangannya, dari tahun ke tahun yang ada di media, pemojokan dari FPI kemaren hanyalah 'Sebuah moment" yang tepat yang dugunakan oleh kelompok-kelompok yangg berseberangan. Intinya kalau kita mau jujur "Tidak ada pun peristiwa itu, anggapan kelompok yang berseberangan teerhadap FPI adalah tetap salah, keras dan bringas.

Tambahan, harus jujur lagi bahwa, aksi yang diadakan AKKBB adalah aksi terbuka melalui media massa, yang mengundang ormas lain, intinya FPI juga bisa datang sebagai tamu dalam acara itu. Kita tentu tidak tau, apakah ini siasat atau di media ada yang lupa ditulis ‘Semua ormas diundang kecuali FPI dan yang se-ide dangan-nya.’ Buktinya, ada anggota AKKBB yang sudah bersiap siaga dengan senjata. Dengan kedatangan FPI pada hari dan tempat yang sama AKKBB 'lupa' akan undangan-nya, dan menganggap ada aksi tandingan. Jadi FPI bukan tamu yang layak dihormati. Karena sudah ada min-set nggak mungkin FPI mau bergabung dengan aksi yang mereka lakukan.

Sebaliknya, kita harus jujur juga, apakah FPI (dan KLI) datang untuk memenuhi undangan atau memang "Sudah siaga' untuk mempersiapkan tandingan. Karena dari awal FPI memang sudah dengan keras menolak Ahmadiyah dan aksi-aksi dari organisasi yang mendukungnya. Intinya, sudah ada mind-set di kelompok masing-masing.

Mari Meratap dan Bersikap: Renungkan sikap Kita dan Cari Solusi

Renungkan dan adakah solusi dari kita, atau jangan-jangan kita (saya dan anda) juga sudah punya mind-set sendiri dan tidak terpengaruh argumentasi dan kenyataan? Atau jangan-jangan berbagai diskusi yang kita lakukan 'Hanyalah tempat melontarkan pendapat" dan "bukan merupakan wadah untuk mendengarkan dan melihat ide orang lain. "Idealnya diskusi adalah 'tukar pendapat, saling memberi dan saling menerima."

Memang boleh jadi, bila kita 'menghujat FPI' juga karena 'dari dasarnya' kita sudah berfikir begitu, tanpa mau melihat secara utuh. Berita-berita yang muncul kemudian, cuma hanya menjadi konfirmasi untuk ansumsi kita, tanpa harus menelaah labih jauh. Kalau ada yang salah dengan mereka, kita akan langsung berkata "Nah gue bilang juga apa.”

Namun, kalau saya amati Polemik dan perbedaan argumentasi tentang masalah ini, baik yang 'Kelihatan-nya membela FPI' atau 'Kelihatan menghujat FPI dan membela AKKBB & Ahmadiyah,' sebanranya ada satu inti yang bias disepakati: Adili yang salah, hentikan kekerasan, hormati kebebasan TAPI Jangan Nodai akidah Islam.' Menurut hemat saya, kita bisa bertemu di titik itu.

Akhir kata, adalah keterlalauan (melampaui batas), bila untuk mencapai tujuan mulia dengan cara kekerasan, dan tidak menunjukkan keteladanan. Adalah juga keterlalauan, bila atas nama kebebasan menistakan, merendahkan dan melukai orang lain. Adalah keterlaluan menganggap MUI mencampuri 'ranah wilayah konstitusi' ketika mengeluarkan fatwa sesatnya Ahmadiyah, padahal ia hanya mengeluarkan fatwa (nasehat dan pemberitahuan pada umat Islam) untuk tidak terjerumus ke dalam kesesatan. Memang benar, siapa saja di tanah Indonesia dengan asas, boleh mengikuiti boleh tidak, dan tidak ada konsekuensi hukum. Tapi, sekali lagi adalah keterlaluan, kalau MUI pun dihujat. (***)

Salam,
Hardi
-----------------------------

Sunday, May 18, 2008

Dokter Intern Indonesia

Seorang sahabat bertanya tentang perubahan sistim pendidikan kedokteran di Indonesia saat ini, terutama tentang sistim kepaniteraan klinik. Berikut tanggapan saya:
-->
Sebelumnya, perlu diingat, Sistim pondidikan & profesi kedokteran di negara kita saat ini mengadakan perubahan besar. SEBENARNYA, intersnship itu tidak ada kaitan-nya dengan PBL. Tetapi kita melakukan perubahan serentak. Merubah sistim pembelajaran menjadi PBL. Juga merubah sistim pendidikan klinis. Sehinga terkesan, semuanya adalah gabungan dari sistim PBL.

Saat ini di Indonesia termasuk untuk FK-Unand, sedang digodok bentuk internship yang pas. Kita akan melaksanakan, gabungan dari primary care di Puskesmas dan RSUD di daerah. Melihat nanti feasibility nya: biaya, fasilitas, akomodasi, security dll.

Ada bebrapa hal yg perlu menjadi catatan, pertaman: bahwa 'Intership' adalah masih dalam tahapan pendidikan, Bedanya, mahsiswa (doktern intern), sudah selesai melaksanakan seluruh siklus (rotasi) co-schap (clerkship) nya.
Kalau dihitung dan dbandingkan dengan system sebelum nya, dengan sistim sekaran ini (PBL & TBL), pendidikan klinis akan lebih lama (1,5 tahun clerkship, PLUS 1 tahun internship). Total pendidikan tetap 6 tahun (pre klinik cuma 3.5 tahun)

Sebelum era PBL pun, hapir semua negara denagn British system (UK, Australia, Malaysia, Singapore dll), juga sudah melaksanakan internship ini. Misalnya, Malysia dengan sistim konvensional dulu, mereka melaksanakan sistim pendidikan dokter 5 tahun, plus internship satu tahun. Sedangkan untuk masuk Fakultas kedokteran di Malaysia, harus lulus pre-university satu tahun. Jadi sebenarnya kalo dihitung, lama pendidikan dokter di Malysia lebih lama dari kita (7 tahun baru bisa full registrasi). AKAN TETAPI, yang ditegaskan sebagai bagian pendidikan kedokteran hanya yg 5 tahun itu. Sehingga sering dikatakan, lama pendidikan dokter di Malaysia cuma 5 tahun.
Ketika, mereka berubah manjadi sistim PBL, yg berubah hanya sistim pembelajaran preklinis. Sedangkan yg lain tidak ada perubahan.

Ada beberapa perbedaan dalam sistim pendidikan kedokteran kita dengan negara yg memaki British system . (Oh ya, yg saya masksud dengan British system adalah British system pandidikan kedokteran-nya, bukan sistim pemerintahannya. Jadi negara-negara timur tengah termasuk yg memakai sistim ini).
- Pendidikan internship di negara-negara ini dilaksanakan dibawah administrasi departemen kesehatan. Jadi bukan lagi tanggung jawab fakultas kedokteran. Sedangkan di kita masih dibawa universitas.
- Dokter intern atau juga dikenal dangan JMO (Junior Medical Officer) dinegara tsb mendapat registrasi terbatas, tidak boleh melakukan praktek sendiri, hanya di RS/ Primary care dimana mereka ditugaskan; mereka dapat full registrasi jika telah selesai internship dan lulus 'ujian'. Kalau di kita karena di bawah koordinasi Fakultas, maka fakultas lebih banyak berusaha mencari tempat yg layak untuk pendidikan dan berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan; mahasiswa (dokter intern) juga hanya belajar (praktek) pada tempat yg telah ditentukan, tetapi dokter intern belum bisa mengurus surat registrasi konsil.
-Meskipun masih dalam tahap pendidikan, karena mereka dianggap sebagai bagian dari sistim pelayanan kesehatan, dokter intern digaji dengan layak [Kalau di South Australia sekitar AU$42,000/year: hampir 4000/bulan.. hmmm, kira-kira setara dengan gaji pegawai bank menengah disni... he..he...Tapi jangan di-rupiah-kan ya (Rp8200/dolar), akan terrlihat terlau besar, kan biaya hidup disini juga besar...]. Kalau di Indonesia, karena intern adalah mahsiswa universitas, ya harus bayar uang kuliah dong.. hmmm.

Tentunya, negar kita belum mapu sampai kesana (untuk mebayar intern, ... dokter residen aja kan belum digaji, dan mesti bayar mahal lagi..).
TUNGGU DULU, jangan bersdih hati, sistim sepeti ini bukan hanya Indonesia yg menerapkan, tapi jg beberap negara lain spt Slovakia dan beberapa negara Eropa Timur.

Hardi
The Pasadena Home
------------------

Saturday, May 3, 2008

Malas... & Seribu alasan:

Tidak ada stattistik memang yang meneliti tentang malas, atau paling tidak yang aku temukan. Dari sudah ber-ratus-ratus jurnal, artikel yang aku baca: nggak ada penelitian tentang 'Malas' karena menurut orang masalah-nya 'obvious', jelas, nggak perlu penelitian lagi... (he.. makin ngaur ini tulisan).

Meski tidak ada hasil penelitian statistik nya, aku berani berkata MALAS BERHUBUNGAN SANGAT SIGNIFICANT DENGAN SEBUAH KEGAGALAN. Ingat, Kegagalan yg diraih dengan usaha yg penuh kemalasan bukanlah sebuah keberhasilan yang tertunda, KEGAGALAN YANG LAHIR DARI SEBUAH KEMALASAN ADALAH AWAL DARI SEBUAH KEHANCURAN.

Inilah yang sering terjadi dalam kenyataan, untuk mengerjakan sesuatu, kita membantah naluri kita sendiri, mencoba mencari alasan pembenaran, padahal sebenar-nya kita malas.

Mengapa aku menulis tentang malas....
Ini ada kaitan-nya,

Ini sebuah refleksi....
Blog ini semula dirancang untuk info kesehatan, tanya jawab, free konsultasi, dll PLUS tempat tanya jawab & penyajian materi "Tutorial" & Kilasan singkat 'Celoteh' (Kuliah) yang aku berikan di Kampus....
Namun, karena 'kebutuhan mendesak' "Emengency-Urgency" pendidikan yang kujalankan; yang merambah dunia 'Psikologi Pendidikan, Clinical Skill, Primary & International Health' (He.. banyak amat, siapa suruh ambil program itu & ambil minor studies), maka 'Misi' itu belum bisa kulaksanakan, terpaksalah Blog ini ngganggur...

Namun aku bertanya... Apakah memang begitu?

Apakah bukan juga bukan PENYAKIT MALAS dgn SERIBU ALASAN YANG sudah metastase dalam pikiran.

Paling tidak...
... Aku tidak malas untuk kegiatan-kegiatan utama lainnya... & Semua berjalan lancar...

Hardi
The Pasadena Home
Adelaide, Australia
--------------------

Tuesday, April 29, 2008

"Sunyi Sepi, sudah sekian lama"

Hi Kawan,
Blog ini terasa sepi, sudah sekian lama...
Maklum seperti ladang yang tak pernah 'dirambah,' ibarat kolam yang tak pernah diganti air-nya...
harap maklum... akau masih bersemedi di hutan belantara. He..he...
Inilah rumah ku
atau ketok pintu/ klik disni...!

Salam...
Hardi

Mari Dapatkan Keuntungan Disini

Copy Right: Hardisman 2007