PADANG EKSPRES, Jumat, 04 Juli 2008
Oleh : Hardisman.
Gagasan gubernur GF untuk menumbuh kembangkan pendidikan disambut hangat oleh berbagai tokoh di daerah ini. Dalam tahapan wacana berbagai istilah muncul saat menyambut ide baik ini, seperti ‘Industri Otak, Industri SDM dan Industri Orang Baik.’ Terakhir cendekiawan terkemuka ranah Minang yang juga Guru Besar Universitas Negeri Padang, Prof.Mestika Zed, mengingatkan agar urusan pendidikan tidaklah sama dengan urusan teknis namun menyangkut kebpribadian dan budaya (Padang Ekspres 28-29 Juni 2008). Menurut beliau, pendidikan seharusnya tidak dijadikan ‘komoditi pasar’ namun melahirkan lulusan yang berbudaya.
Terlepas dari istilah dan terminologi yang digunakan, tentu yang jauh lebih penting adalah bagaimana mewujudkan cita-cita mulia itu, yaitu upaya apa yang harus dilakukan untuk memajukan sektor pendidikan di ranah minang ini. Bukan dalam artian penggunaan istilah tidak perlu, namun memprogramkan dan melaksanakan langkah-langkah kongrit akan lebih berarti. Dalam hal ini, Gubernur GF mengusulkan adanya suatu Yayasan yang berperan dalam menunjang pendidikan putra-putri daerah ini, yang nantinya diharapkan mereka menjadi tokoh dan juga akan berperan untuk pembangunan negeri.
Meskipun istilah yang digunakan beragam, serta setuju atau tidak kita akan gagasan Gubernur, agaknya ada satu esensi yang dapat disepakati, yakni agar putra-putri daerah ini yang punya potensi dapat terus melanjutkan pendidikannnya sehingga dapat berkarya untuk negeri ini, dan sebaliknya tokoh-tokoh minang yang sudah mapan ikut andil dalam memajukan pendidikan.
Hal ini sangat penting, kalau kita sadari ketika dulunya ada beberapa tokoh minang di tingkat nasional, regional dan internasional, pertanyaannya ‘Apakah ada peran dari daerah ini untuk membesarkan mereka?’ ‘Apakah mereka yang dibesarkan Ranah Minang, atau karena nama merekalah Ranah Minang ini menjadi besar?’ Seperti yang diungkapkan Prof.Bustanuddin Agus sebelumnya (Padang Ekspres, 24-6-2008), tidak saatnya lagi ‘Mengapit daun kunyit,’ dimana ketika ada tokoh yang berasal dari sumbar kita ramai-ramai mengatakan itu adalah orang kampung kita, namun ketika mereka sedang berjuang, kita entah dimana. Persis seperti seorang mamak yang tak peduli dengan pendidikan dan nasib kemenakannya, bahkan ketika kemenakan mau melanjutkan sekolah dengan mematahkan semangat ia berkata ‘Indak kalai do, indak sarupo awak urang ka manggapai cito-cito tinggi.’ Namun ketika kemenakannya berhasil, dengan semangat ia berkata ‘Itu kamanakan ambo.’
Selanjutnya, nostalgia akan tokoh-tokoh masa lampau harus diikuti program nyata untuk mewujudkannya kembali. Kita memang sering terbuai dengan kisah lama. Terkadang romantisisme zaman lampau itu tidak diimbangi dengan langkah konkrit. Terlebih lagi, kita hanya kembali ke masa lampau tanpa melihat sejarah secara utuh. Ketika ada tokoh-tokoh yang lahir didaerah kita dulunya, seolah-olah kita menganggap sistim pendidikan kita dulunya adalah mapan dan berkualitas dari segala sisi. Kalaulah demikian adanya, akan ada ratusan yang berkualitas HAMKA, M Yamin, Agus Salim, Tan Malaka, Hatta dan lainnya. Tapi kenyataannya, justru hanya ada satu orang yang berkualitas HAMKA dari Maninjau dan begitu juga yang lainnya. Oleh karena itu untuk mewujudkan atau melahirkan kembali tokoh-tokoh dari daerah ini tentu harus belajar dari sejarah yang dilihat secara utuh konteks dan sistim pendidikannnya dan bukan sekedar nostalgia belaka.
Jangan Hanya Berharap pada Pendidikan Tinggi
Tanpa memandang istilah yang digunakan, kiranya juga disepakati bahwa tujuan pendidikan adalah melahirkan insan yang berkualitas secara keilmuan, mempunyai skill yang dapat diterapkan, berwawasan, bermoral, ber-etika dan berbudaya.
Namun, pada tataran Perguruan Tinggi (PT), pendidikan harus dilihat kontekstualnya dan sasarannya secara teknis keilmuan. Pelaksanan pendidikan pada PT dilaksanakan dalam kekhusuan bidang ilmu yang mengarah kepada komptensi masing-masing bidang ilmu tersebut. Oleh karena itu berharap banyak pada proses pendidikan tinggi yang akan melahirkan lulusan yang berwawasan budaya adalah terlalu jauh. Mata ajaran dalam bidang keilmuan itu saja sudah menyita banyak waktu apalagi harus ditambah dengan nilai-nilai budaya.
Begitu juga halnya jika PT diharapkan sebagai tempat yang membentuk dari awal kepribadian, tentu terlalu sulit. Sesuai dengan sasaran komptensi profesionalnya, PT hanya mengarahkan kepribadian peserta didik yang sudah ada kepada kepribadian professional itu sendiri, misalnya pada pendidikan Hukum diarahkan pada etika dan sikap professional profesi hukum, pada pendidikan Kedokteran diarahkan pada kepribadian dan etika kedokteran. Tetapi jika pembentukan kepribadian dan etika ini tidak dibentuk dari keluarga, masyarakat dan pendidikan dasar, tentu sulit menanamkan nilai-nilai itu. Artinya, dalam mendapatkan hasil lulusan pendidikan yang berilmu, beretika dan berbudaya harus dibentuk semenjak pendidikan dasar dengan keterlibatan keluarga dan masyarakat.
Budaya atau Karakter?
Jika budaya diartikan dalam makna luas yang bermakna ‘karakter’ maka akan lebih applicable dalam bentuk langkah-langkah kongkrit. Jika kata-kata Prof. Mestika Zed ‘Gulai banak, masakan khas Rumah Makan Padang’ dalam dunia pendidikan dapat diartikan sebagi cirri khas pendidikan tinggi maka akan dapat diwujudkan dalam bentuk program nyata.
Hal ini agaknya kita perlu sedikit belajar pada negara tetangga, di Australia misalnya, mereka tidak terlalu sibuk dengan peringkat universitas yang dikeluarkan oleh Times Higher Education atau Webometric. Meskipun itu dapat dijadikan sebagai tolak ukur kualitas, tetapi universitas-univeritas di negeri itu lebih giat melakukan langkah nyata mengembangkan pendidikan mereka sesuai dengan cirri khasnya. Ciri khas inilah yang akhirnya menjadi nilai tambah tersendiri. Beberapa contoh berikut adalah universitas-universitas yang menurut peringkat berbagai lembaga tidak masuk dalam daftar 200 universitas terkemuka dunia, namun mereka mempunyai nilai khas yang diakui dan jadi rujukan dunia. Diantaranya; James Cook University menjadi terkemuka dalam bidang penyakit tropik dan manjadi salah satu pusat laboratorium WHO, Tasmania University dalam bidang ilmu kelautan dan Flinders University terkemuka bidang Public Policy dan sistim kompetensi pendidikan kedokteran berbasis komunitas dan PBL (Problem Based Learning).
Karakter atau keunggulan khas inilah yang agaknya harus dimiliki oleh perguruan tinggi di ranah minang ini. Berdasarkan kondisi wilayah dan sosial kemasyarakatan, misalnya perguruan tinggi di daerah ini dapat mempunyai program unggulan dalam bidang budi daya dan pengolahan hasil pertanian, penyakit jantung, pembuluh darah dan stroke, serta ilmu kelautan dan wilayah pesisir. Bukan dalam artian mengenyampingkan program lainnya, namun dengan mempunyai program unggulan tertentu akan menjadikan pendidikan tinggi kita lebih maju dan punya warna tersendiri.***
No comments:
Post a Comment