Wednesday, July 9, 2008

Mengapa dan Bagaimana Menertibkan Rokok



(Diterbitkan oleh Padang Media, Sabtu, 19 Juli 2008)

Beberapa pemerintahan kota di Sumbar saat ini menjadikan pengaturan rokok dan pencemaran udara menjadi salah satu wacana yang akan dituangkan dalam peraturan pemerintah daerah (Perda) pada beberapa kota di Sumbar. Kota Padang Panjang misalnya, peraturan tentang rokok telah masuk dalam salah satu diantara sepuluh Ranperda yang akan dibahas di DPRD setempat yang juga akan menjadi PR bagi walikota terpilih kedepan.

Mengapa baru sekarang para pemimpin dan politikus berfikir akan mengatur tentang rokok dan pencemaran udara pada tempat pubklik, dan bukankah dampak negatifnya sudah nyata? Jawabannya tidak semudah yang difikirkan, karena rokok telah ikut andil dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, mulai dari pertanian, industri dan perdagangan.

Secara nasional, dalam bidang produksi dan pertanian, Indonesia tercatat sebagai negara penghasil tembakau dan rokok terbesar ketujuh di dunia. Rokok juga telah menjadi salah satu industri utama di tanah air ini. Sehingga harus diakui, industri ini juga telah berperan dalam pembangunan ekonomi Indonesia.

Industri ini telah ikut menyuburkan perekonomian mulai dari sektor pertanian, ketersediaan tenaga kerja industri dan devisa negara. Pada sektor pertanian, ia telah mengisi sekitar 1% lahan dan secara langsung menyerap tenaga kerja sekitar 0,5% dari total kesedaian tenaga kerja nasional. Bahkan untuk dareah Sulawesi Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat, jika dibandingkan dengan usaha pertanian lainnya, tembakau juga sebagai usaha pertanian utama. Jika digabungkan dengan kesediaan tenaga kerja pada sektor indusri lainnya, kesetedian tenaga kerja pada sektor yang terkait dengan usaha rokok dan tembakau telah secara bermakna ikut menuntaskan kemiskinan.

Pada hal yang sama, industri ini juga telah menyumbangkan devisa negara yang cukup besar melalui pajak dan cukai. Pada tahun 2005 misalnya, negara memperoleh sekitar 300 miliar US dolar pendapatan pajak dan cukai rokok dari total 3,2 triliun US dolar atau sekitar 0,12% total pendapatan negara (248 triliun US dolar).

Apakah segala bentuk keuntungan itu lebih berarti dari dampak negatifnya? Ternyata tidak, bahaya dan dampak buruk ekonominya labih parah dari manfaatnya itu.

Dari suvei yang dilakukan Achadi dan kawan-kawan pada tahun 2005, lebih dari 62% laki-laki di Indonesia adalah perokok. Dengan jumlah penduduk yang cukup besar, Indonesia telah menjadi negara perokok terbesar kelima di dunia. Merokok juga menjadi bagian gaya hidup masyarakat, dan tak sedikit orang yang addiksi dan dependensi terhadap rokok. Umumnya mereka adalah perokok kronis dengan mulai merokok pada saat usia belasan.

Berbagai studi dilaporkan bahwa rokok adalah faktor resiko utama terjadinya berbagi penyakit, seperti gangguan pernafasan, penyakit jantung, gangguan kehamilan, stroke dan kanker. Dan degan usia merokok lebih lama, maka tidaklah mengherankan angka penyakit ini juga lebih tinggi di negara kita. Penyakit jantung-pemnbuluh darah dan paru merupakan penyakit pembunuh utama di tanah air ini, dan juga dibuktikan bahwa penyakit-penyakit tersebut lebih banyak terjadi pada perokok.

Bahkan kalau dianalisa lebih jauh, dampak ekonomi akibat rokok ini jauh lebih mahal. Achadi dan kawan-kawan menyebutkan rata-rata biaya pengobatan akibat rokok memakan biaya sekitar 50% dari total pendapatan nasional. Tentu ini jauh lebih tinggi dari pendapatan yang diperoleh negara yang hanya 0,12%. Namun dampak negatif ekonomi ini tidak dapat dirasakan secara langsung, tidak seperti manfaat kesetediaan lapangan kerja. Tetapi, kalau disadari, dampak negatifnya ini tidak bisa dinilai dengan uang dan materi; ini adalah masalah kesehatan dan kualitas hidup.

Terlebih lagi, yang menjadi perhatian utama adalah nasib orang-orang yang tidak merokok. Mereka telah menjadi ‘Perokok pasif’ yang juga harus menaggung penderitaan dan dampak buruk asap rokok. Saat ini di berbagai fasilitas umum sperti bus kota dan bahkan sekolah dan lorong-loring rumah sakit, sangat mudah kita temui orang-orang merokok dengan seenaknya tanpa harus memikirkan kesehatan dan hak orang lain yang berada disekitarnya.

Oleh karena itu, melihat kepada berbagai aspek diatas, maka harus diambil sikap yang bijak dan berdasar dengan prinsip ‘Penertiban dan penyadaran tanpa pemaksaan tapi saling menghargai hak dan kewajiban.’

Salah satu usaha yang bijak ialah dengan metapkan tempat-tempat publik sebagai kawasan bebas rokok seperti yang sedang digodok oleh beberapa Pemda saat ini, dan juga pelarangan penjualan rokok pada anak-anak. Peraturan ini harus tegas dan mengikat yang harus dilengkapi dengan sangsi pelangarannnya. Dengan pengaturan seperti ini, maka orang-orang yang tidak merokok terutama anak-anak dan wanita hamil akan terlindung hak-hak nya.

Namun kesadaran masyarakat sangat dituntut untuk suksesnya pelaksanaan peraturan ini. Kalau kita berkaca pada yang sudah-sudah, secara nasional sebenarnya ada peraturan tentang rokok, seperti PP No.81 1999 yang terakhir diamandemen dengan PP No.19 2003. Dalam peraturan tersebut diatur tentang periklanan dan juga tentang pelarangan merokok pada tempat-tempat umum. Tetapi jika dilihat kenyataannya, peraturan itu hanya seperti teks yang tak bergigi. Contoh nyata, DKI Jakarta memberlakukan dengan tegas tentang pelarangan rokok ditempat-tempat umum dengan Perda No. 2 Tahun 2005 dan Peraturan Gubernur Nomor 75 Tahun 2005. Tetapi pelaksanaannya jauh dari harapan, karena tidak diikuiti oleh kesadaran masyarakat. Bahkan PP ini juga diperkuat dengan PP tentang pencemaran udara Jakarta No 2/2006, namun masih hal yang lumrah kita jumpai orang merokok di tempat-tempat umum.

Kalau berkaca pada negara-negara maju, pelarangan penjualan rokok pada anak-anak dan merokok pada tempat umum adalah suatu hak yang biasa, dan tidak ada protes dari masyarakat dan semuanya dengan sadar mematuhinya. Di South Australia misalnya ada South Australian Tobacco Product Regulation Act yang terakhir dikeluarkan tahun 1997 dan 2003, setara dengan Perda Propinsi di Indonesia. Kalau masalah subtansi mungkin tidak jauh berbeda dengan Perda Rokok DKI Jakarta, namun dapat dilaksanakan tanpa kendala. Pelanggran terhadap aturan penjualan misalnya didenda 5000-10.000 dolar, dan merokok pada sembarang tempat sekitar 200-750 dolar. Sebagaimana negara taat hukum, peraturan ini dilaksanakan pada semua orang tanpa pandang bulu.

---
Oleh: Hardisman,MD,MSc
Pemerhati Masalah Kesehatan masyarakat
---------------------------------------------------------------------------------

No comments:

Mari Dapatkan Keuntungan Disini

Copy Right: Hardisman 2007