Wednesday, July 2, 2008

Belajar dari Kasus KEPRI

Pandangan Objektif Terhadap Dugaan Malpraktek
Oleh: Hardisman*)
(Diterbitkan Oleh Media Padang Kini, 19 Juli 2008)

Isu-isu dan dugaan malpraktek mulai menjadi sorotan media dan berbagai organisasi kemasyarakatan di Indonesia. Begitu juga di propinsi Kepri ini. Dugaan dan tuntutan dari masyarakat juga kemudian didukung oleh berbagai swadaya masyarakat (LSM). Di Kepri, Lembaga Bangtuan Hukum (LBH) Kesehatan merupakan organisasi yang paling aktif menyuarakan hal ini. Yang paling akhir, LBH Kesehatan secara tegas telah menyatakan tingginya angka Malpraktek di Kepri pada aksinya akhir Mei 2008.

Akhirnya, timbullah konflik professional yang tidak hanya antara IDI dan LBH, tetapi juga antara dokter secara individu dan pasien. Dalam bentuk nyata, sebagaimana yang diberitakan Media ini (Sijori Mandiri, 10 Juni 2008), dokter-dokter yang tergabung dalam IDI Kepri melakukan unjuk rasa, menyampaikan aspirasinya ke Pemerintah Daerah 9 Juni yang lalu. IDI menilai tuntutan dan isu malpraktek dijadikan komoditi oleh pihak-pihak tertentu dan sengaja untuk menyudutkan dokter.

Sebaliknya, sebahagian masyarakat menilai bahwa dokter seakan-akan selalu menolak akan segala tuduhan dan tuntutan dari pasien. Oleh karena itu, perlu penulis mengajak untuk melihat permasalahannnya secara objektif dan berdasar. Dugaan-dugaan malpraktek tersbut tidak terlepas dari pemahaman pasien dan masyarakat umumnya terhadap pelayanan kedokteran, perbedaan persepsi, kurang terjalinnya komunikasi dan juga sikap dokter.

Pertama, perlu diketahui bahwa pelayanan kedokteran adalah pelayanan jasa sosial yang unik yang tidak dapat disamakan dengan pelayanan jasa lainnya, apalagi dengan pelayanan teknik. Meskipun secara perundang-undangan pasien sebagai konsumen dokter dapat menggunakan hak-haknya sesuai UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Pelayanan kedokteran dititik beratkan pada intensi (niat) dan upaya (proses) yang dilakukan oleh dokter. Hasil (outcome) selalu dilihat dari sisi apakah upaya dokter sudah maksimal dan tepat. Dalam hal ini, ketika seorang pasien meminta pertolongan dokter untuk membantu kesembuhannya, secara implisit dokter dan pasien tersebut telah melakukan suatu kontrak “Usaha maksimal.” Maka dokter sesuai ilmunya, keahlian dan pengalaman empiris akan berfikir bahwa dengan diagnosis yang ia tegakkan dan terapi yang ia berikan pasien akan sembuh. Tetapi, secara ilmiah, kesembuhan adalah proses biologis dari interaksi pengobatan atau tindakan yang diberikan dengan penyakitnya. Tambahan lagi, bagi kita orang yang beragama, kepastian kesembuhan adalah hak “Tuhan.”

Lalu apakah dokter dapat dituntut secara hukum bila pasien yang diobatinya tidak sembuh atau bahkan kedaannya malah bertambah jelek setelah beberapa kali pengobatan, sedangkan dokter tersebut telah berbuat sesuai ilmunya? Inilah salah satu yang penyebab adanya dugaan malpraktek tersebut. Karena boleh jadi masyarakat (pasien) melihat bahwa akibat tindakan dokterlah kondisi penyakitnya menjadi lebih parah. Sebaliknya, menurut ilmu kedokteran bila penatalaksanaan kasus sudah didasari atas diagnosa yang tepat, terapi yang tepat, dengan dosis dan cara yang tepat pula; maka sudah dapat dipertanggungjawabkan dan bukanlah suatu malpraktek, meskipun hasilnya bertolak-belakang dengan yang diharapkan.

Kedua, tindakan medis, baik tindakan diagnosis (menentukan penyakit) maupun tindakan terapeutik (pengobatan) juga dapat menimbulkan efek samping. Misalnya, pemasangan infus saja dapat menimbulkan pembengkakan dan radang pada tempat suntukan jarum infus tersebut. Apalagi pengobatan, tindakan dan prosedur medik tingkat lanjut lainnya.

Jika efek samping ini terjadi tentu tidak dapat langsung dikatakan sebagai suatu kelalaian atau kesalahan medik. Karena secara keilmuan radang dan pembengkakan tempat suntikan infus dapat disebabkan berbagai faktor, kebersihan dan pergerakan pasien, dan tentu juga faktor perawat atu dokter saat pemasangan, atau sterilitas alat yang dipasang. Pertanyaan mendasar adalah apakah jika petugas (dokter) telah melakukan tindakan sesuai keilmuannya dan sterilitas yang baik, kemudian terjadi komplikasi, dapat dikatakan suatu malpraktek, atau dapat dituntut secara hukum? Tentu tidaklah demikian, karena jika efek samping tersebut terjadi, maka harus dilihat apakah memang akibat dari kesalahan pelayan kesehatan.

Ketiga, berdasarkan fenomena diatas dapat dilihat bahwa timbulnya berbagai polemik akibat tindakan medis tersebut adalah akibat besarnya perbedaan ilmu, persepsi, dan pandangan antara pihak tenaga kesehatan (dokter) dan masyarakat (pasien). Dan dalam hal ini ada peran dokter. Dokter yang diduga melakukan malpraktek kemungkinan besar tidak memberikan penjelasan optimal, lugas dan jelas yang dapat dimengerti oleh pasien tentang pengobatan atau tindakan yang akan dilakukan. Harus diakui, bahwa memang masih ada dokter yang ‘susah berbicara’ atau tidak bisa membahasakan bahasa-bahasa kedokteran yang rumit menjadi bahasa sederhana yang dipahami pasien. Sehingga setelah semuanya terjadi ia merasa bahwa itu adalah akibat kesalahan dokter.

Hal ini agaknya kita perlu belajar dari sejawat dinegara tetangga. Di Singapura dan Australia misalnya, berdasarkan pengamatan penulis, seorang dokter yang akan melakukan tindakan medis pada seorang anak, ia menjelaskan dengan bahasa sederhana segala aspek dan konsekuensinya kepada anak tersebut. Inilah suatu yang sangat positif, dimana dokter tidak hanya menerangkan pada orang tuanya tapi juga kepada anak itu sendiri. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh dokter-dokter di tanah air ini, yakni senantiasa menghargai, meluangkan waktu dan membuka diri terhadap pasien. Inti sebenarnya hanyalah kembali melaksanakan sumpah dokter dan mentaati UU No 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.

Sudah selayaknyalah dokter harus bersikap dan bertindak yang tidak hanya sesuai indikasi medis dan kepentingan pasien, tetapi juga yang dilandasi dengan nilai-nilai agama, moral, etika, dan sumpah kedokteran. Dokter harus menjelaskan secara optimal kepada pasien/ kelurganya akan kondisi dan perjalanan penyakitnya, rencana terapi dan segala resiko yang mungkin terjadi. Persetujuan atau penolakan tindakan medis oleh pasien/ keluarga pasien harus dilakukan secara tertulis sebelum tindakan tersebut dilakukan dan setelah mereka mendapat penjelasan secara lengkap dan baik. Menurut hemat penulis, bila ini bisa dilakukan, maka jika ada dugaan malpraktek dapat diselesaikan dengan baik. Bila dokter benar-benar melakukan pelanggaran dapat dituntut secara hukum.

*)Hardisman,MD,MSc, Alumnus Faculty of Medicine of Andalas University (FK-Unand), Padang & Flinders Medical School and Medical Center, South Australia.
-----------------------------------------------------------------------

No comments:

Mari Dapatkan Keuntungan Disini

Copy Right: Hardisman 2007